Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tamu Tidak Diundang

28 November 2020   08:38 Diperbarui: 28 November 2020   08:46 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Artikel ini merupakan suatu peristiwa nyata yang terjadi di rumahku, berikut kisah singkatnya. Lokasi rumah / Apotek dekat dengan pasar, dan masjid. Adalah hal biasa bila di sore hari menjelang magrib, sudah ramai penjual makanan menggelar dagangannya. Demikian juga Apotek Sido Waras, di sore hari juga banyak dikunjungi orang yang membutuhkan obat, dan vitamin. Waktu itu rumah belum mengalami perubahan dari keadaan aslinya, jadi masih sama dengan keadaan saat membelinya.

Untuk ruang kerja, aku mengambil ruang di belakang rak obat ( sekarang menjadi garasi ), dengan pintu menghadap ke Selatan berhubungan dengan ruang terbuka, berpagar tembok setinggi 3 m. Di ruang terbuka ini terdapat kamar mandi, dan tempat untuk mencuci pakaian, tempat mencuci per alatan dapur, dan juga terdapat rak piring. Kecuali itu terdapat tangga yang menghubungkan lantai 2, untuk menjemur pakaian. Dalam ruang kerja, terdapat tempat tidur, dan seperangkat komputer.  Jadi kalau aku bekerja menggunakan komputer, duduknya ya di tempat tidur itulah. 

Setelah sembayang magrib, istri mencuci piring. Tahu -- tahu pintu kamar kerja terbuka, dan menutup kembali. Melihat keadaan demikian istri me-manggil -- manggil aku, pa, pa, pa, tidak ada jawaban. Dalam pikiran istri terlintas, ini pasti si bungsu yang sedang menggoda mamanya. Istri lalu memanggil -- manggil si bungsu, dik, dik, dik, tetap tidak ada jawaban.

Muncul dalam pikiran istri, jangan -- jangan ada orang yang tidak diundang masuk ke ruang kerja papa ini. Asumsi istri, kalau pintu terbuka karena angin, tidak mungkin pintu bisa menutup kembali dengan sendirinya. Kemungkinan lain ada orang mau keluar membuka pintu, tetapi  setelah melihat saya lalu pintu ditutup kembali, pikir istri.

Akhirnya istri memanggil aku, pa, pa, pa....., di kamar kerja ada orang. Mendengar suara istri memanggil, aku lalu ke belakang. Membuka pintu kamar kerja, melihat ke bawah tempat tidur. Tidak kelihatan apa -- apa karena gelap, dan kebetulan juga tidak punya baterai atau senter. Aku keluar sebentar mengambil korek api, masuk lagi ke kamar kerja sambil menyalakan korek api, melihat di kolong tempat tidur. Tidak begitu jelas, tampak seperti tubuh orang membujur di kolong tempat tidur. Aku mundur lagi, sambil menutup pintu.

Aku lalu memanggil orang - orang yang ada di depan, dan kebetulan karyawan dari Lampung Selatan mas Yulius namanya, sedang berkunjung ke rumah. Mas, mas, mas, teriakku, kemari semua, di kamar ada orang. Ada beberapa orang yang datang, termasuk si mamang penjual kethoprak. Ayo semua ke belakang, tolong dibawa itu linggis, golok, pentungan, dan lain -- lain. Padahal apa -- apa yang aku sebutkan tadi, di rumah tidak ada.

Setelah semua ke belakang, aku membuka pintu sambil ngomong: mas, tolong yang ada di kolong tempat tidur keluar saja. Ada apa kok gelap -- gelap di situ, mari keluar saja mas tidak usah takut, tidak akan diapa -- apakan. Selang beberapa saat, orang yang di kolong tempat tidur keluar.

Kemudian  aku dekati, lalu aku rangkul, bajunya basah kuyup. Mungkin keluar keringat dingin mendengar dibawakan linggis, golok, dan pentungan tadi. Sambil merangkul aku bertanya mengapa, dan apa alasannya kok masuk lewat jalan yang tidak semestinya? Saya lapar pak, sudah 4 hari saya tidak makan. Saya lari dari tempat kakak saya, jawabnya.

Saya masuk mau mencari nasi untuk makan, sambungnya lagi. Kalau hanya mau makan, tentunya akan lebih baik kalau lewat pintu depan. Assalamu'alaikum, pak, bu, maaf karena saya belum makan, mohon berkenan memberi saya makan, tentunya akan lebih baik begitu. Sambil berjalan ke ruang tamu aku bertanya, jadi kamu lapar sekarang? dijawab iya pak. Mang, tolong dibuatkan kethoprak pintaku kepada si Mamang penjual kethoprak. Si  Mamang lari, mau membuatkan kethoprak.

Sekarang kamu mandi dulu mas biar badan menjadi segar, setelah itu nanti kita bincang -- bincang di sini. Iya pak, jawabnya sambil berjalan menuju ke kamar mandi. Sekarang sudah segar, ayo kethopraknya dimakan dulu, dan tehnya di minum. Kethoprak dimakan dengan lahapnya. Setelah 1 piring habis, aku bertanya lagi, masih lapar? Masih pak, jawabnya. Mas tolong dimintakan lagi. Mas Yulius menyahut sambil jalan, biar saya saja pak yang memesankan.  

Dari cerita anak tersebut, ia berasal dari Bengkulu, kelas 2 SMP tetapi sudah tidak melanjutkan sekolah lagi, dan di sini ikut bersama kakaknya. Menurut pengakuan, ia dipersalahkan kakaknya, karena membuat anak sang kakak menangis. Padahal menangis bukan karena saya, katanya lagi. Karena dimarahi terus oleh kakak, saya lari, dan bermalam di masjid itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun