Mohon tunggu...
Hendry CH Bangun
Hendry CH Bangun Mohon Tunggu... Jurnalis - Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022

Masih bekerja di media meski sudah memulainya saat menjadi mahasiswa di Rawamangun. Juga ikut mengurusi organisasi wartawan. Suka memberi pelatihan jurnalistik di daerah. Suka menulis puisi, begitu pula cerita pendek. Telah menulis sejumlah buku.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Bertemu Tan Joe Hok

25 November 2019   12:24 Diperbarui: 25 November 2019   12:44 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Ketika Ivana Lie mengajak saya untuk jalan-jalan ke Kudus untuk menengok markas Persatuan Bulutangkis Djarum, seketika saya mengiyakan. Saya rindu dengan suasana bulutangkis, olahraga yang sempat saya tekuni  sekitar 10 tahun ketika bekerja sebagai reporter di Kompas. Apalagi sebelum itu Budi Darmawan, public relation Djarum,  sekitar tiga bulan lalu sudah menyampaikan hal serupa. Saya pun pernah diwawancarai ketika ada perayaan PB Djarum ke-50 karena dianggap agak tahu soal kiprah pemain-pemain salah satu klub yang paling sukses dalam melahirkan para juara.

Kami berlima, Ivana, Budi, juga rekan seangkatan di liputan olahraga Atal S Depari dan Tubagus Adhi, berangkat bersama melalui Semarang. Di airport kami bertemu Liem Swie King, salah satu pemain terbaik Indonesia yang masih dikenal dengan King Smash-nya, sebuah pukulan menghujam sambil melompat yang jarang bisa dikembalikan lawan. 

Saya meliput King ketika dia sudah main ganda, baik ketika berpasangan dengan Bobby Ertanto, Kartono, maupun Eddy Hartono.  King tiga kali juara All England,  tapi dia gagal menjadi juara dunia karena dikalahkan Icuk Sugiarto tahun 1983. Kekalahannya yang paling diingat orang Indonesia tentu ketika di semifinal Piala Thomas 1988, berpasangan dengan Bobby Ertanto, King kalah dari Razif/Jalani Sidek, sehingga Indonesia kalah 2-3 dari Malaysia dan untuk pertama kalinya gagal ke final.

Di bandara Ahmad Yani Semarang kami berpisah dengan King karena dia dijemput secara khusus, begitu pula wartawan Republika Nurul yang sedikit lebih yunior semasa saya masih bertugas di lapangan.

Suasana GOR Jati yang menjadi markas PB Djarum sudah seperti malam ketika kami tiba. Walaupun panas terik mencapai 37 Celsius, ratusan anak dan orangtua mereka antusias berada di sekitar lokasi, entah itu di ruang istirahat, di depan panggung terbuka, stand suvenir, ataupun di lorong menuju GOR yang sedang berlangsung pertandingan. Sekitar 800 orang anak berebut tiket untuk masuk ke putaran final yang jatahnya sekitar 30 saja, yang akan bersaing lagi dengan wakil dari 4 kota lain untuk mendapat beasiswa PB Djarum.

Di 10 lapangan, mereka bermain dengan sungguh-sungguh. Baik itu bocah yang ibaratnya baru bisa mengayunkan raket, sampai yang pukulannya sudah mantap, di hadapan  belasan legenda bulutangkis PB Djarum yang menjadi semacam juri. Mulai dari Christian Hadinata, Hastomo Arbi, Kartono, Rudy Heryanto, Eddy Kurniawan, Richard Mainaky, lalu Eddy Hartono, Lius Pongoh, Heryanto Arbi, Antonius, sampai Yuni Kartika. Mereka mencatat performa calon yang bermain, sekaligus memberi penilaian. Bukan skor pertandingan.

Ketika kemudian kami bergerak ke ruang makan di asrama pemain, saya pun bertemu Tan Joe Hok, sang legenda itu. Wajahnya masih segar, sapaannya masih ramah, dan semangatnya masih menggelegar. Joe Hok, begitu dia sering dipanggil sebayanya dulu, menjadi pelatih di Djarum sejak tahun 1982, paling senior dibandingkan yang ada.

Joe Hok satu-satunya anggota Tim Indonesia yang berhasil merebut Piala Thomas di Singapura tahun 1958 dengan mengalahkan Malaysia 6-3, yang masih hidup  Rekannya sudah berpulang, bahkan ada yang belasan tahun lalu. Tidak ada lagi Njoo Kim Bie,  arek Surabaya tinggi besar yang hebat smesnya saat berpasangan dengan Tan King Gwan untuk merebut dua angka dari Malaysia. 

Sudah berpulang juga Ferry Sonneville, tunggal pertama Indonesia yang menyumbangkan dua angka. Begitupun Eddy Yusuf,  yang menang dari Abdullah Piruz di partai kelima untuk menjadikan skor Indonesia-Malaysia 4-1. Atau Olich Solhin, kawan karib Joe Hok di Bandung, yang berperaan besar saat Indonesia menggulung Selandia Baru dan Australia 9-0 di babak penyisihan wilayah Australasia untuk merebut tiket ke putaran final di Malaysia. Begitupun Li Po Djian dan Tan Thiam Beng, yang masuk tim Piala Thomas Indonesia.

Joe Hok juga orang pertama Indonesia yang menjadi juara di All England, dengan mengalahkan seniornya Ferry Sonneville tahun 1959.  Dia memang terkenal sebagai pemain muda yang kerap mengalahkan pemain yang lebih berpengalaman. Dia mampu mengalahkan Njoo Kim Bie di Kejuaraan Nasional 1954. Itu pula yang dilakukannya ketika menyumbang dua angka bagi Indonesia di Piala Thomas, dengan menaklukkan  juara All England tiga kali Eddy Choong, untuk memasikan kemenangan Indonesia 5-1 dari 9 partai pertandingan. Padahal Malaysia menghitung pertandingan hari kedua itu milik mereka.

Siang itu suara Joe Hok masih keras dan tegas, ciri yang tidak pernah hilang dari dirinya. Saya menilai dia orang yang jujur, lurus, dan berbicara apa adanya walau itu berbeda dengan pandangan umum.

Dia mengatakan beruntung bahwa ada swasta seperti PB Djarum yang terus konsisten selama 50 tahun membina bulutangkis, melakukan rekrutmen sejak usia dini, dan terus memberi dukungan bagi mereka yang berprestasi dengan bonus seperti mereka menang di Asian Games, Olimpiade, atau All England.

Karena itu dia heran ada yang mempersoalkan ekploiatasi anak tanpa melihat kondisi di lapangan. Bukan hanya anak yang kepingin menjadi juara, keluarganya pun berkorban tenaga dan harta agar anaknya mendapat beasiswa, yang tujuan akhirnya adalah untuk mengharumkan nama Indonesia. Saya lalu membayangkan ayah-ibu yang ikut datang ke Kudus dari berbagai kota di Jawa dan luar Jawa, harus membiayai transportasi, penginapan, konsumsi, untuk anak-anaknya yang ikut audisi. Bahkan kalaupun gagal, banyak yang tidak kapok dan mencoba lagi.

"Ada anak yang sudah tiga tahun mencoba sebelum akhirnya masuk ke putaran final.  Ada yang datang dari Malaysia, meski dia orang Indonesia," kata Ivana menambahkan.

Joe Hok bercerita bagaimana dia mengagumi sosok Presiden Soekarno, yang menerima Tim Piala Thomas di Istana Merdeka dan memberikan apresiasi kepada pemain,. "Nasionalisme kami tergerak karena semangat yang beliau pompakan ke kami. Tinggi sekali penghormatannya atas pencapaian kami merebut  Piala Thomas."

Joe Hok juga terus terang menyatakan bangga punya presiden Abdurahman Wahid, yang setelah menerima keluhan dari kalangan Tionghoa, akhirnya memberi kebebasan untuk merayakan hari besar keagamaan Konghuchu setelah dilarang puluhan tahun di zaman Orde Baru.

"Beliau cepat tanggap atas keluhan kami," kata Joe Hok.

Joe Hok sempat meneteskan airmata ketika mengingat lagi saat-saat mereka diangkat beramai-ramai saat Indonesia memboyong pertama kali Piala Thomas ke Jakarta. Sambil mengusap air mata dari balik kacamata, Joe Hok mengatakan bangga bahwa penonton Indonesia yang bersemangat memberi dukungan karena Malaysia di atas angin, memberi penghargaan tinggi. 

Joe Hok lalu memperlihatkan foto dokumentasi sebuah tulisan "Hidup Indonesia" yang sudah disiapkan para suporter. Menurut laporan surat kabar The Straits Times, pertandingan memang sempat terhenti sejenak setelah Joe Hok menundukkan Eddy Choong 15-11, 15-6 untuk menjadikan Indonesia unggul 5-1 dan tidak lagi terkejar oleh Malaysia.

Joe Hok bercerita, ketika harus bertanding di Piala Thomas, dia kembali ke Tanah Air dari Texas, Amerika Serikat, tempatnya menuntut ilmu, dengan biaya sendiri. Begitu pula setelah menang. Ternyata Soekarno tidak lupa. 

Pada suatu hari setelah dia kembali ke Texas, di kotak pos tempatnya menginap ada amplop besar dari Kedutaan RI. Dia ketakutan melihat surat itu, menyangka bahwa dia akan disuruh pulang, beasiswanya dicabut, dsb. Dia lalu menyuruh temannya untuk membuka. Ternyata berisi cek sebesar 1000 dollar AS dari Kementerian Pendidikan, angka yang sangat besar untuk tahun 1958 itu. Perasaanya lega, dan bahagia karena ternyata pemerintah memperhatikannya.

"Uang itu saya kembalikan ke Kementerian, karena hidup saya sudah cukup. Ada yang lebih membutuhkan," katanya dengan wajah sumringah.

Setelah menang di All England, Joe Hok tidak pulang ke Indonesia, dia kembali ke Amerika Serikat. Dia tercatat pernah menjadi juara AS Terbuka dan Kanada terbuka pada tahu 1959 dan 1960. Walaupun demikian dia tetap membela Indonesia di Asian Games 1962 dengan menyumbangkan dua medali emas dan ikut mempertahankan Piala Thomas dua kali lagi.

Dia mengatakan, ingin agar pemain mengambil keputusan untuk terus bermain bulutangkis, di usia yang lebih muda. Kalau di usia tertentu tidak menjadi juara, lebih baik sekolah dan bekerja. Tetapi kalau memang menunjukkan prestasi yang memadai, teruskan dengan serius.

Saya beruntung bisa berjumpa lagi dengan Tan Joe Hok di usianya yang sudah mencapai 82 tahun. Otaknya masih jernih, daya ingatnya tajam,  sikapnya tetap tegas dan lurus, hal yang jarang   bisa ditemui saat ini.

Atas semua sumbangsihnya bagi Indonesia itu, Tan Joe Hok, yang juga punya nama Hendra Kartanegara, mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan, Bintang Jasa, dari pemerintah. Apakah kita sudah cukup menghargai dia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun