Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tiga Level Hubungan Suami Istri: Sudah Sampai Manakah Levelmu?

12 Juni 2016   13:51 Diperbarui: 12 Juni 2016   13:58 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua malam yang lalu, di tempat saya biasa mengerjakan shalat tarawih, ada kultum yang menarik. Tentang level dalam hubungan suami istri.

Ketika menyampaikan tema ini, si penceramah membukanya dengan sebuah hadist yang bunyinya begini:

Man shooma romadoona iimanan wah ti saa ban, ghufirolahu maa taqod dama min dzam biih.

Arti hadist itu, yang umum, kira-kira: “Barangsiapa yang mengerjakan puasa di bulan Ramadhan dengan keimanan yang benar dan ikhlas, maka Allah akan ampuni dosa-dosa mereka di masa yang lalu.” Nah, si penceramah kemudian menjelaskan bahwa kata wah ti saa ban, ada juga yang mengartikan dengan penuh pertimbangan atau senantiasa melakukan evaluasi.

Jadi, barangsiapa yang melakukan puasa dengan iman yang benar dan senantiasa melakukan evaluasi, maka Allah akan ampuni dia. Cukup masuk akal memang. Dan karena saya awam, tidak mengerti benar seluk beluk bahasa Arab, maka saya mengiyakan saja. Mendengarkan dengan baik dan merekamnya di kepala. Lebih lanjut, penceramah mengatakan bahwa di bulan Ramadhan ini, sebaiknya memang, kita senantiasa melakukan evaluasi kepada banyak hal.

Mengevaluasi darimana harta dan kekayaan kita dapat? Kemana dibelanjakan? Dan sebagainya. Mengevaluasi bagaimana pendidikan dan teladan yang sudah kita berikan ke anak-anak kita? Apakah sudah baik atau belum? Apakah selama ini kita hanya menyuruh tanpa pernah memberikan contoh yang benar? Atau bagaimana? Terlebih, sudah selayaknya kita, terutama bagi yang sudah menikah, untuk senantiasa melakukan evaluasi terhadap hubungan dengan pasangan di rumah. Terhadap istri atau suami masing-masing.

Saya langsung khidmat mendengarkan bagian ini. Bergumam dalam hati, “Keren juga nih kayaknya!” Lebih lanjut, penceramah kemudian menjelaskan tentang tiga level hubungan antara suami dan istri. Pertama, level paling rendah dan primitif, namanya mahabbah! Mahabbah adalah bahasa Arab yang dalam bahasa kita, artinya adalah cinta. Suami istri yang masih pada level mahabbah adalah mereka yang saling tertarik hanya karena alasan fisik belaka.

Hubungan ini di dasarkan pada ganteng atau tidak? Cantik atau jelek? Bohay atau biasa saja? dan lain-lain. Intinya, level ini hanya tumbuh karena fisik semata. Bukan karena yang lain. Jika suami istri hanya saling tertarik hanya karena alasan ini, maka bisa bahaya jadinya. Suami yang mulai gemuk, akan tidak disukai lagi oleh istrinya. Pun sebaliknya, istri yang mulai bulat dan berat, akan dijauhi suaminya.

Malangnya, di luar sana, banyak ABG yang molek-molek, banyak perempuan-perempuan nakal yang gemar menggoda, dan jika seorang lelaki hanya berada pada level mahabbah saja, maka bisa celaka dua puluh lima namanya. Ia akan mudah selingkuh. Mudah mendua dan menikah lagi entah dengan siapa. Alamak! Mencintai seseorang karena fisik tidak akan bertahan lama. Karena fisik akan menua, karena fisik bersifat fana dan tidak akan selamanya jelita.

Level hubungan kita harus ditingkatkan menjadi yang kedua. Apa itu? Penceramah mengatakan, level berikutnya adalah mawaddah. Mawaddah juga berasal dari bahasa Arab, yang artinya (dari beberapa sumber yang saya baca) adalah: cinta kasih yang disertai dengan harapan-harapan tinggi, atau, sebuah keinginan dan usaha menghindarkan orang yang kita cintai dari sifat yang jelek dan tidak diinginkan.

Penceramah dua malam malam lalu kemudian menjelaskan bahwa level mawaddah adalah level ketika kita mencintai dan menyukai seseorang karena sikap dan tingkah laku mereka. Karena akhlak yang baik. Tidak hanya karena alasan fisik saja. Suami kita memang sudah menjadi gemuk, tapi ia dewasa, bertanggung jawab, dan enak diajak berdiskusi. Sehingga karena sifat-sifat yang baik ini, maka kita tetap mencintai dan menyayanginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun