Artikel sebelumnya Kidung Pemut 4M, namun aku minta maaf kepada pembaca budiman karena kelanjutannya ke Kidung Pemut 4N, tertunda artikel dengan judul PERISTIWA 10 HARI TERAKHIR RAMADAN ini. Hal ini dimaksudkan untuk mengenang beberapa peristiwa yang aku alami di 10 hari terakhir Ramadan, dan yang salah satunya adalah terangkainya Kidung Pemut sebanyak 12 bait.
Alhamdulillah, atas karunia Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, akhirnya keluargaku dapat menempati rumah baru dibilangan Perumnas Way Halim, Bandar Lampung. Meskipun masih menyicil di Bank Tabungan Negara (BTN), tak urung rumah yang beralamat di Jl. Rajabasa Raya E 6 ini sangatlah aku syukuri. Lokasi rumah ini sangat strategis. Terletak diujung persimpangan jalan besar, dekat pasar, di depan ada praktek dokter, dan di sebelah kanannya masjid besar.
Adalah kebiasaan dari tahun ke tahun, setiap bulan Ramadhan diisi dengan berbagai kegiatan. Diantaranya berbuka puasa bersama di masjid, sembayang isa dan tarawih secara berjama’ah, dan ceramah sebelum tarawih. Kegiatan itu makin intensif dilakukan di 10 hari terakhir Ramadhan, biasanya diisi dengan pembacaan kitab Al Qur’an dalam bahasa Arabnya, dengan harapan mendapat malam Laillatul Qadar. Jadi dapat dibayangkan, betapa ramainya suasana selama bulan Ramadhan dimalam hari, dan menjelang subuh di lingkunganku.
Sebagai umat Islam, akupun melakukan aktifitas yang sama sebagaimana muslim yang lain. Bedanya, aku lebih sering mengkaji kitab suci dalam bahasa yang aku pahami, yaitu bahasa Indonesia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. Dan surat Az Zukhruf ayat 3. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu mema-hami(nya).
Dengan mengkajinya menggunakan bahasaku sendiri, membuat aku mudah mencerna apa yang Allah firmankan kepada hambaNya. Itupun harus aku lakukan secara berulang – ulang membacanya, dengan segenap pikiran dan rasa yang merasakan ( Jawa = roso pangroso). Seperti yang pernah aku ulas di tulisan – tulisan lainnya, bahwa setiap petunjuk dalam Firman Allah, saling berkaitan dan saling menjelaskan antar satu ayat dalam surat tertentu, dengan satu ayat dalam surat yang lain. Sehingga pembacaan yang berulang – ulang menjadi wajib aku lakukan untuk menangkap makna batiniyah yang ingin disampaikan. Kegiatan mengkaji makna batiniyah Al Qur’an pun seyogyanya, tidak dibatasi oleh waktu atau dalam bulan tertentu saja.
Setiap ayat yang berhasil kukaji aku tempatkan dalam hati, berusaha aku amalkannya ke dalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kataku dalam keseharian. Dengan cara itulah aku berharap sepanjang hidupku selalu berada dalam tuntunan Nur Ilahi. Karena kemanapun aku pergi, aku selalu membawa Al Qur’an dalam hatiku.
Suatu malam di bulan Ramadhan 1425H ( 2004 M ) bertepatan pada malam ke 27 aku bermimpi. Dalam mimpi itu tergambar peristiwa terang benderang dimalam hari, namun tak tampak adanya bulan. Banyak orang berkerumun, bersorak gembira menyaksikan peristiwa menakjubkan itu, sambil berteriak “malam laillatul qadar, malam laillatul qadar, malam laillatul qadar”. Aku berbaur dalam kerumunan orang itu, berdiri disampingku seorang wanita berpakaian sederhana. Wanita itu memakai baju kebaya dan kain ( Jawa = jarik ) yang sudah lusuh hanya sebatas dibawah lutut, sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sayang mimpi itu hanyalah sebatas itu saja, selanjutnya aku terbangun dan selanjutnya sahur bersama keluarga.
Mimpi itu sungguh membekas dalam benakku, begitu terpukaunya aku hingga aku ceritakan mimpi itu pada istri sambil bersantap sahur. Meskipun singkat, samar – samar dapat aku tangkap makna petunjuk dalam mimpi itu. Sosok wanita sederhana tadi aku maknai sebagai orang desa yang umumnya berprofesi sebagai petani. Jadi menurut analisisku, sosok petani hakekatnya adalah gambaran dari orang yang sabar dan ikhlas dalam melakoni hidup dan kehidupan di atas dunia ini.
Mari dibayangkan, mereka mengolah tanah agar siap ditanami, menabur benih, merawat, memelihara, memupuk, hingga akhirnya tiba waktu mereka dapat memanen hasilnya. Mereka terbiasa berproses, menunggunya dengan sabar sejak bibit ditanam, hingga dapat menghasilkan dan dipanen. Artinya petani tidak pernah berpikiran instan, karena mereka tahu yang namanya berproses itu butuh waktu, dan itu dilakukannya dengan sabar. Tidak seperti mereka yang terbiasa makan makanan yang instant - instant, hari ini baru dicanangkan program, besoknya sudah menuntut hasil programnya.
Mereka juga terlatih sabar dan ikhlas dalam menghadapi semua keadaan. Saat harga beras membumbung tinggi misalnya, alih – alih melakukan demo seperti umumnya masyarakat kota yang mengaku terpelajar itu, mereka justru menyiasatinya dengan mengonsumsi jagung atau ubi sebagai pengganti makanan pokok. Sungguh ikhlas dan sabar bukan?
Kendati umumnya pendapatan mereka pas – pasan, toh mereka tak pernah lupa berbagi dengan sesama saudaranya. Contoh kecil pernah aku alami sendiri saat berkunjung ke rumah saudara yang berprofesi petani. Meskipun tampak susah, toh mereka meluangkan kacang ijo dan beras ketan hasil panenan mereka sekedar untuk memberikan oleh – oleh atas kedatanganku. Tak tampak adanya keberatan di mata mereka saat memberikannya, yang tampak justru rasa bahagia dan bangga. Ya itulah wujud cinta yang mereka kenal, bahasa sederhana yang mereka coba ungkapkan dalam keterbatasan materi yang mereka miliki.