Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menepati Janji Bila Berjanji

10 Juni 2020   11:24 Diperbarui: 10 Juni 2020   11:48 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertama. Kita harus mencari tahu, dan dalam ayat berikut inilah antara lain, perbuatan -- perbuatan yang sekiranya dapat meningkatkan kadar ketakwaan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 177 tersebut. 

Kedua. Dikaji menggunakan bahasa kita sendiri, atau bahasa lainnya yang kita mengerti artinya secara berjenjang, melalui rasa yang merasakan             ( Jawa = roso pangroso ). Lalu memposisikan diri, layaknya kita sedang berkomunikasi langsung dengan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci. Hasil kajiannya kita tempatkan di dalam hati, agar Ruh Suci atau Nur Illahi atau Ruh Kudus selalu menyinari dan menyertai setiap tingkah laku, perbuatan dan tutur kata kita sehari-hari, dimanapun kita berada.

Bila dicermati bunyi kalimat terakhir dari surat Al Baqarah ayat 177, ................ Mereka itulah orang -- orang yang benar; dan mereka itulah orang -- orang yang bertakwa. Terkandung maksud, ketika kita mengatakan orang -- orang bertakwa, berarti mereka itu adalah orang -- orang yang beriman dan beramal saleh atau berbuat baik. Jadi sejatinya bertakwa itu meliputi keseimbangan 2 sisi yang tidak dapat dipisahkan, pertama sisi iman dan kedua sisi amal saleh atau perbuatan baik. Lalu kita bakukan, bak dua sisi mata takwa yang tidak dapat dipisahkan.

Sebagaimana orang berkomunikasi, mestinya kita mencermati setiap perkataan lawan bicara, lebih -- lebih komunikasi antara Ruh Suci (gaib manusia) dengan Penciptanya yaitu Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci (Maha Gaib). Sebagai contoh. Penulis akan membaca firman Allah surat Al Baqarah 153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Begitu penulis membaca, Hai orang-orang yang beriman. Penulis yang sedang membacanya seolah-olah menjawab dalam hati dengan kata - kata, ya aku orang yang beriman. Penulis membaca selanjutnya,  jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Lagi penulis menjawab dalam hati dengan kata - kata, siap laksanakan agar aku menjadi orang yang sabar. Ini kalau penulis mengkajinya              ( mengajinya) melalui rasa yang merasakan atau roso pangroso, mudah-mudahan Allah mengijinkan penulis menjadi orang yang sabar.

Mari kita coba bandingkan, bila mengajinya hanya dimaknai dengan membaca, menghafal dan melagukan firman Allah dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Bukankah lalu begini jadinya. Begitu Allah menyeru, Hai orang-orang yang beriman. Orang yang membaca seolah - olah menjawab juga dengan kata - kata, 

Hai orang-orang yang beriman. Allah menyeru selanjutnya,  jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Orang yang sedang membaca seolah - olah menjawab juga dengan kata - kata, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dengan cara begitu, berarti tidak terjadi komunikasi, bukan?

Kalau begitu yang dilakukan, apa yang didapat? Kesia - siaan belaka, itu yang didapat. Kita diseru kok malah balik menyeru. Kalau seruan Allah jelas siapa yang dituju, yaitu ditujukan kepada orang yang beriman atau orang yang percaya. Terus kalau kita balik menyeru, ditujukan kepada siapa seruan itu? Kepada orang lain? 

Kalau begitu, lalu sebagai apa posisi kita? Sebagai Allah? Awas hati - hati dan waspada, jangan sampai terjebak hawa nafsu.   Ini kalau cara mengajinya ditingkatan lahiriyah atau sareat. Tetapi kalau mengajinya melalui roso pangroso, oke kita menyeru. Tetapi seruan melalui mulut kita tadi ditujukan kepada gaib kita sendiri, yang tidak lain adalah Ruh Suci atau Nur Illahi atau Ruh Kudus, yang merupakan sebagian dan bagian tidak terpisahkan dari Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci.

Mari kita analogikan dengan kejadian nyata, dalam peristiwa ijab qabul temanten misalnya. Persiapan sudah baik, pengarahan kepada calon temanten laki-laki sudah matang. Ijab qabul dimulai. Calon mertua menyeru:  hai ananda Folan, calon temanten laki -- laki menjawab juga dengan kata -- kata: hai ananda Folan. 

Calon mertua melanjutkan seruannya: aku nikahkan engkau dengan anak kandungku bernama Folaniwati, dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai. Calon temanten laki-laki menjawab juga dengan kata-kata: aku nikahkan engkau dengan anak kandungku bernama Folaniwati, dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai. Petugas lalu menanyakan kepada saksi 1, sah dijawab tidak. Petugas lalu menanyakan kepada saksi 2, sah dijawab tidak. Kalau hal ini yang terjadi, apa hasilnya? Kesia-siaan belaka bukan? Gak sido oleh bojo ( tidak jadi dapat istri ).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun