Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Karena Kebiasaan (1)

12 Februari 2019   17:06 Diperbarui: 12 Februari 2019   17:10 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hidup adalah karena kebiasaan, oleh karena itu sejak kecil hendaklah anak -- cucu sudah dibiasakan atau dilatih untuk melakukan perbuatan baik dan nyata, dimulai dengan hal -- hal sepele atau sederhana. Karena dengan pembiasaan atau pelatihan sejak dini, pada saatnya nanti apa yang dibiasakan tadi akan membudaya dan yang aktualisasinya dapat terjadi secara spontan. Kejadian -- kejadian berikut, dapat digunakan sebagai contoh sekaligus bukti nyata.

Ketika penulis sekeluarga berkunjung ke Demak tepatnya di Desa Sidomulyo, Kecamatan Pilangsari, Kabupaten Demak Jawa Tengah, yang tidak lain adalah tempat lahir istri dan anak - anak, tiba - tiba terdengar suara orang bersin (Jawa = wahing). Penulis lalu menoleh ke arah sumber suara, karena saat bersin terdengar suara aneh yang berbunyi "wajiiiik"( penganan yang dibuat dari beras ketan, santan dan gula kelapa ). Mengapa dapat berbunyi demikian saat bersin? Karena yang bersangkutan membiasakan diri, ketika bersin mengucapkan kata wajiiiik tersebut. Oleh karena itu bila bersin, spontan yang keluar ya kata itu.

Lain lagi ketika penulis sekeluarga mengunjungi saudara di Tulungagung Jawa Timur, juga terdengar suara orang bersin. Dan yang menurut hemat penulis, suara yang terlontar dari orang tersebut juga terbilang aneh. Seseorang yang bersin secara spontan mengeluarkan perkataan ( sesungguhnya umpatan) yang berbunyi "bajiii.....gur"(minuman dari Jahe), meski setelah berucap seperti itu yang bersangkutan lalu tertawa ( berkelakar maksudnya ). Masalahnya adalah mengapa orang bersin, kok yang terlontar suara seperti itu? Tidak lain karena yang bersangkutan, membiasakan diri ketika bersin mengucapkan kata tersebut. Oleh karena itu, bila bersin spontan yang keluar ya kata itu.

Beruntung bagi penulis dan patut bersyukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena sejak awal membiasakan diri saat bersin mengeluarkan kata "alhamdulillah". Karena sejak awal penulis membiasakan diri kalau bersin mengeluarkan kata tersebut, maka kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun, bila bersin secara spontan yang telontar ya kata alhamdulillah. 

Belajar dari kejadian - kejadian tersebut, mari anak - cucu dibimbing atau dilatih agar dalam setiap tingkah laku, perbuatan dan tutur kata dalam kesehariannya, membiasakan diri dengan melakukan perbuatan -- perbuatan baik; Dan mengerti dengan benar, terhadap setiap apa yang telah, sedang dan akan dilakukan. Artinya sejak dini anak - cucu dibimbing atau dilatih agar selalu berpikir positif dan benar, sehingga tidak mudah terpengaruh dan mengikuti apa kata orang belaka, tanpa mengetahui apa sasaran atau hasil akhirnya.   

Bagaimana cara pembiasaan perbuatan, bagi anak -- cucu sejak dini dilakukan? Langkah pertama, menghindari berpikir hasil akhir secara instant. Justru yang jauh lebih penting adalah membimbing atau melatihnya dengan bagaimana cara memperoleh hasil akhir, atau bagaimana proses untuk memperoleh hasil akhir tersebut. Contoh sederhananya. Karena dibiasakan menghafal 12 x 12 = 144, akhirnya anak - cucu hafal kalau 12 kali 12 sama dengan 144. Tetapi akan jauh lebih berguna bagi mereka, bila dibimbing atau dilatih agar mengerti bagaimana caranya atau bagaimana prosesnya 12 kali 12, sampai diperoleh hasil akhir 144 itu. Jadi membimbing atau melatih agar anak - cucu mengerti bagaimana caranya atau bagaimana prosesnya sampai diperoleh hasil akhir, itulah langkah keduanya.

Demikian juga tidak cukup seseorang hanya berkata jadilah kamu anak -- cucu yang baik atau anak -- cucu yang saleh, mestinya mereka dibimbing atau dilatih bagaimana caranya atau bagaimana prosesnya agar dapat menjadi anak -- cucu yang baik atau anak -- cucu yang saleh tersebut. Tidak cukup seseorang hanya dengan berkata jadilah kamu anak - cucu yang pandai bersyukur, mestinya mereka dibimbing atau dilatih bagaimana caranya atau bagaimana prosesnya agar dapat menjadi anak - cucu yang pandai bersyukur. Tidak cukup hanya dengan sekedar ajakan atau seruan mari meningkatkan taqwa kita, tetapi akan lebih baik bila dibimbing atau dilatih bagaimana caranya atau bagaimana prosesnya agar taqwa seseorang meningkat.    

Anak - cucu yang dibiasakan dengan memberi, bimbingan atau pelatihan bagaimana cara atau bagaimana proses agar dapat memperoleh hasil akhir tersebut, mudah - mudahan kedepannya akan terbangun dalam benak atau pikiran mereka budaya menghadapi setiap permasalahan dan atau tantangan yang ada dihadapannya. Generasi penerus bangsa yang mempunyai pola pikir seperti inilah, yang mudah - mudahan dapat diandalkan mampu bersaing dan unggul di era globalisasi atau di era digitalisasi.

Mari kita coba membayangkan bila anak - cucu yang tidak lain adalah generasi penerus bangsa, hanya dibekali dengan cara -- cara yang serba instant untuk memperoleh hasil akhir, seperti: 12 kali 12 sama dengan 144, jadilah anak baik (saleh), jadilah anak yang pandai bersyukur, mari tingkatkan taqwa kita, dan lain sebagainya, yang hanya dengan sekedar menirukan atau menghafalkan. Mungkinkah generasi penerus bangsa yang hanya berbekal pola pikir seperti itu layaknya peniru atau penghafal saja, dapat diandalkan akan mampu dan unggul bersaing di era globalisasi atau di era digitalisasi. Tidak mungkin, dan tampaknya jauh dari harapan, bukan?

Penulis teringat masa kecil sekitar 65 tahun silam, yang saat itu masih dekat dengan suasana kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Orang tua penulis mempunyai burung beo yang sudah jadi, artinya si burung beo sudah pandai menirukan banyak kata - kata atau suara. Bila ada orang, si burung beo mengeluarkan suara: assalamualaikum, bismillahirrohmanirrohim, merdeka bung, kue mangkok, menyanyikan lagu Indonesia Raya sepotong -- sepotong dengan fasihnya. Percaya bukan? Kalau tidak percaya, silahkan memelihara burung beo sendiri, atau sekarang ini dapat dengan mudah mencari ocehan burung beo melalui media sosial.

Melihat kenyataan tersebut, sudah barang tentu si burung beo akan dengan mudah juga dapat menirukan suara yang berbunyi:  12 kali 12 sama dengan 144, anak baik (saleh), pandai bersyukur, taqwa, dan lain sebagainya, bila diperdengarkan secara rutin. Percaya bukan akan hal tersebut? Ya percaya kalau si burung beo, akan dapat menirukannya dan hafal. Tetapi bila ditanyakan kepada si burung beo, apa arti semua suara yang dikeluarkannya? Sudah pasti si burung beo tidak akan mengetahui, apa makna kata -- kata yang disuarakannya.

Sehubungan dengan hal tersebut para pembaca budiman, mari kita introspeksi diri dan jujur mengakui, cara mana yang telah diberikan kepada anak - cucu kita selama ini? Setelah introspeksi diri ternyata hasilnya, memang sudah membimbing atau melatih mereka dengan memberikan cara memperoleh hasil akhir atau bagaimana proses untuk memperoleh hasil akhir, alhamdulillah; Tinggal terus ditingkat kembangkan. Tetapi bila hasil introspeksi diri ternyata selama ini mereka baru diberi cara instant untuk memperoleh hasil akhir layaknya melatih burung beo, mari bergegas hijrah melakukan langkah tindak membekali anak - cucu dengan bagaimana proses atau bagaimana cara memperoleh hasil akhir tersebut.

Lalu bagaimana cara membekali anak - cucu sejak dini? Mari kita mulai dari penggalan kalimat pertama sebagaimana tertulis mengawali artikel ini, hidup adalah karena kebiasaan. Dari semua pembiasaan ini, tentu terselip pesan tersembunyi dibalik kata - kata tersebut. Apa pesan dibalik pembiasaan tersebut? Tidak lain adalah pengejawantahan atau pewujud -- nyataan atau pengaktualisasian perintah dan petunjuk Allah atau firman Allah, ke dalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata sehari - harinya.

Kata menterengnya, membumikan perintah dan petunjuk Allah atau membumikan firman Allah kepada anak - cucu, melalui pembiasaan atau pelatihan sehari - hari. Artinya semua pembiasaan tadi tidak berhenti hanya sampai diucapan saja, tetapi diikuti dengan perbuatan atau tindakan nyatanya. Dengan pembiasaan dalam bentuk  perbuatan atau tindakan nyata, diharapkan anak -- cucu dapat menjiwai apa yang dibiasakan, dan yang akhirnya anak - cucu dapat merasakan dalam roso pangroso nya apa yang dibiasakan. Jadi sebagai simpulan, mendidik anak - cucu sejak dini dan kita semua tentunya, hendaklah meliputi 4 tingkatan tersebut. Artinya membumikan firman Allah atau perintah dan petunjuk Allah, hendaklah meliputi 4 tingkat pembiasaan atau 4 tingkat pelatihan tersebut. 

Kalau kita mau menyadari, sesungguhnya cara -- cara tersebut telah dicontohkan oleh orang tua kita dahulu. Sebagai contoh. Setiap mau berangkat ke sekolah, oleh ibunya anak - cucu dibekali makanan dari rumah. Tidak dibiasakan, membeli makanan yang dijual disekolah. Disamping tidak mendidik, juga untuk menghindarkan penganan yang tidak layak di konsumsi bagi kesehatannya. Setiap waktu makan dan atau setiap minta makan, anak -- anak sudah dibiasakan duduk dikursi mengelilingi meja makan. Sebelum makan dibiasakan berdo'a, dipimpin kakak beradik secara bergantian. Tidak dibiasakan makan dan minum, sambil berjalan atau lebih -- lebih sambil berlari atau sambil bermain -- main. Dibiasakan saat makan tidak terdengar decaknya, sehabis makan kursi dikembalikan tanpa menimbulkan suara berderak dan ditata kembali ketempat semula, serta tidak meninggalkan sisa makanan.

Dari sederetan pembiasaan tersebut, mari dikaji lebih mendalam atau ditingkatkan kajiannya dari tingkat ucapan ke tingkat diatasnya. Diawali dari kata bismillahirrohmanirrohim, karena setiap kegiatan apapun kegiatannya, seyogyanya diawali dengan bismillahirrohmanirrohim  ini. Sedangkan bagi saudara - saudara yang non muslim, silahkan menyesuaikan.

Bismillahirrahmanirrohim ini kata dalam bahasa Arab, yang dalam bahasa Indonesia-nya berarti dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Pengasih dan penyayang tidak lain adalah sifat Allah, demikian juga manusia mempunyai sifat - sifat itu. Mengapa? Karena gaib manusia berupa ruh suci, langsung berasal dari-Nya yang merupakan sebagian dan bagian tidak terpisahkan dari Yang Maha Suci. Surat Al Hijr ayat 29. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.  Surat Ar Ruum ayat 30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Untuk menyegarkan kembali ingatan kita, dapat dibaca ulang artikel di kompasiana dengan judul SIAPA AKU 1 sampai dengan 7 http://www.kompasiana.com/bangsayekti/siapa-aku-1_576796d4a423bd950f50934c, dan atau judul artikel lainnya di kompasiana dengan akun  bangsayekti. 

Untuk menumbuh kembangkan sifat pengasih dan penyayang atau bismillahirrohmanirrohim baik kepada anak - cucu maupun kita semua tentunya, dibiasakan agar meliputi empat tingkat pembiasaan atau empat tingkat pelatihan, sebagai berikut.

Ucapan. Sudah merupakan kebiasaan seseorang, bila akan memulai suatu kegiatan apapun kegiatannya, di awali dengan mengucap bismillahirrohmanirrohim. Tetapi untuk membimbing atau melatih anak - cucu sejak dini, mestinya kata tersebut tidak hanya berhenti sampai di ucapan saja.  Karena, kalau hanya sampai di ucapan saja, jangankan anak -- cucu, selagi burung beo pun dapat menirukan. Oleh karena itu mari dilatih dengan melakukan tindakan atau perbuatan, agar terbangun sifat pengasih dan penyayang dalam diri anak - cucu.

Tindakan atau perbuatan. Bagaimana cara melatihnya? Sejak awal masuk sekolah, anak-cucu dibiasakan dibekali makanan dan minuman dari rumah oleh orang tuanya. Saat membekali anak - cucu, orang tua berpesan agar pada saat memakan bekal nanti, jangan lupa menawari dan atau memberikan sebagian bekal kepada  temannya yang tidak membawa bekal. Sebaliknya bila anak - cucu diberi sesuatu oleh teman atau siapapun, dipesankan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada yang memberi.

Bila suatu saat berjumpa temannya atau siapapun yang membawa barang tampak kesulitan, kepada anak-cucu juga dipesan agar membantunya, walau tidak diminta.  Saat meninggalkan rumah, orang tua memegang tangan sang anak - cucu layaknya orang bersalaman, sambil mengucap salam, assalamualaikum wr.wb, demikian pula saat pulangnya diperdengarkan kembali salam tersebut.

Pembiasaan hal - hal sederhana seperti itu kepada anak - cucu sejak dini, juga merupakan pelatihan bagi anak - cucu untuk melakukan perbuatan atau tindakan dari apa yang diucapkan atau dikatakan. Dengan kata lain melatih anak - cucu sejak dini, agar dapat melakukan satunya kata dengan perbuatan.

Surat Al Qiyaamah ayat 16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. 

Surat Al Qiyaamah ayat 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Surat Al Qiyaamah ayat 18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. 

Penjiwaan. Sejak dini, mari anak -- cucu dilatih dan diposisikan layaknya pemeran dalam sebuah seni pentas, drama misalnya. Anak -- cucu diberi materi yang harus dibawakannya dengan baik, dalam sebuah pentas drama ibaratnya. Dengan begitu, mereka tentu akan berlatih dengan keras sesuai arahannya, agar dapat menguasai materi yang diberikan dan memerankannya dengan baik. Atau dengan kata lain, mereka harus dapat menjiwai materi yang diperankannya, agar dapat bermain dan menyampaikan pesan kepada penonton dengan baik. Bila hal -- hal atau materi yang diberikan sudah di jiwai sejak dini, insya-Allah saat dewasanya nanti anak - cucu akan dapat mengaktualisasikan kebiasaan tadi secara spontan, bukan didunia seni pentas, tetapi di dunia nyata. 

Karena materi drama yang dipentaskan tidak lain adalah perintah dan petunjuk Allah atau firman Allah pada umumnya, perbuatan mengasihi dan menyayangi ( bismillahirrohmanirrohim ) pada khususnya, dan yang dilakukan secara berulang; Diharapkan apa -- apa yang telah di jiwai dalam pentas drama tadi, dapat secara spontan teraktualisasikan dalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata anak - cucu di dunia nyata dalam keseharinya.

Rasa yang merasakan ( Jawa = roso pangroso ). Dengan penjiwaan sifat pengasih dan penyayang pada khususnya, dan penjiwaan atas semua perintah dan petunjuk Allah atau firman Allah pada umumnya, insya-Allah anak -- cucu akan dapat merasakan setiap apa yang akan dilakukan, apa yang akan diperbuat dan apa yang akan dikatakan atau diucapkannya. Sehingga anak -- cucu dapat merasakan sendiri, atas apa yang akan dilakukannya. Bila dirinya ingin dihargai, ya harus dapat menghargai orang lain. Bila dirinya ingin dihormati, ya harus dapat menghormati orang lain. Bila dirinya ingin mendapat perhatian, ya harus dapat memberi perhatian kepada orang lain. Bila dirinya dicubit terasa sakit, ya tidak usah mencubit orang lain. Bila dirinya ingin tidak dicurigai, ya tidak usah mencurigai orang lain. Bila dirinya ingin tidak dihujat, ya tidak usah menghujat orang lain. Bila dirinya ingin tidak dipersulit, ya tidak usah mempersulit orang lain. Bila dirinya ingin tidak dibohongi, ya tidak usah membohongi orang lain. Dan lain - lain, apapun derajat, pangkat dan kedudukannya. Karena segala sesuatu perbuatan yang maunya ditujukan kepada orang lain, sesungguhnya tertuju bagi dirinya sendiri.                                          

Surat Al Israa' ayat 7. Jika kamu berbuat baik ( berarti ) kamu berbuat baik bagi  dirimu  sendiri  dan  jika  kamu  berbuat  jahat, maka ( kejahatan ) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi ( kejahatan ) yang kedua, ( Kami datangkan orang -- orang lain ) untuk menyuramkan muka -- muka kamu dan mereka masuk kedalam masjid, sebagaimana musuh -- musuhmu  memasukinya pada kali pertama  dan untuk membinasakan sehabis -- habisnya apa saja  yang mereka kuasai. 

Penjelasan tersebut, tidak lain adalah merupakan contoh pembelajaran atau pelatihan untuk mengaktualisasikan sifat pengasih dan penyayang dalam keseharian, melalui 4 tingkat pembiasaan atau pelatihan. Oh, betapa indah dan damainya dunia ini bila setiap penganut agama apapun agamanya, dapat mewujud-nyatakan atau mengaktualisasikan hasil akhir dari 4 tingkat pembiasaan/kajian dari setiap firman Allah atau setiap perintah dan petunjuk Allah, dalam pergaulan di dunia nyata ini. Terima kasih, dan sampai berjumpa di artikel selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun