Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Yah, "Kenapa Kita Tidak Dijajah Inggris Saja"?

28 Juli 2012   00:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32 3791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ayah, "Kenapa kita tidak dijajah oleh Inggris saja"? begitu tanya anak saya yang saat ini baru beberapa hari saja masuk kelas 1 SMP (VII). Tentu saja pertanyaan tersebut mengagetkan saya sebagai orang tua, dan juga tentunya sulit menjawabnya kalau soal pengandaian, 'andaikan Indonesia tidak dijajah Belanda. Tapi dijajah Inggris saja', atau kenapa Indonesia tidak dijajah oleh Inggris saja, dsb".

Pertanyaan tersebut muncul tadi pagi sehabis sahur sambil menunggu azan Subuh. Ketika itu dia sedang menyaksikan liputan langsung (live) pembukaan Olimpiade London 2012 yang ditayangkan sebuah stasiun TV nasional. Sambil menonton, tentu saja dia banyak berkomentar dan juga bertanya kepada saya dan adiknya ketika nampak nama-nama negara yang asing atau tidak populer, yang kebanyakan adalah jajahan Inggris. Saya memang menjawab bahwa Inggris (Britania) Raya itu bagaikan matahari yang tidak pernah tenggelam. Maksudnya, bekas jajahan negara tersebut ada di 5 benua, sehingga ketika matahari mau tenggelam sudah  muncul lagi jajahan Ingrris saking banyaknya. Selain itu juga bahkan negara besar dan maju banyak yang masih menginduk kepadanya seperti Australia dan Kanada. Belum lagi negara yang dekat dengan Indonesia seperti Malaysia dan Brunei Darussalam.

Pertanyaan dia tersebut adalah semacam gugatan kenapa negara-negara bekas jajahan Inggris rata-rata maju dan ngetop dalam berbagai media, fasih berbahasa asing (Inggris) dan juga bagaikan  bahasa sendiri, atau bagian yang tak terpisahkan dari bahasa nasional mereka seperti di India dan Pakistan dimana bahasa Inggris tidak terpisahkan dari bahasa nasional kedua negara tersebut. Sebaliknya, di Indonesia bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di negara namun mempelajarinya di sekolah saja tidak cukup. Harus didukung dengan les. (Kebetulan dia les bahasa Inggris di Kumon). Barangkali hal itu yang dia rasakan.

Gugatan semacam itu sangat wajar dan apalagi sangat polos dikatakan oleh seorang anak yang masih polos dan apa adanya. Memang dia bercita-cita menjadi diplomat. Begitu dia tulis dibuku kenangan sekolah SD-nya, dan dia sangat bangga dengan itu, karena dia satu-satunya yang mempunyai cita-cita tersebut diantara kawan-kawannya. Yang lain sih yah cita-citanya pasaran. Kebanyakan mau jadi dokter', begitu pernah dia katakan.

Sebagai jajahan Belanda bersama Suriname, sebuah negara di kawasan Amerika Latin dan juga tidak terkenal di dunia, memang bahasa Belanda tentunya pernah menjadi bahasa para kakek-nenek kita. Namun, para nasionalis awal kita yang sangat anti-penjajahan Belanda memberangus penggunaan bahasa itu karena bahasa kaum penjajah. Lalu dikuatkan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa asing (Inggris) baru dikenalkan pada sekolah menengah. Ini terjadi pada siswa anggakatan 70-an kebawah. Pembelajaran bahasa Inggris sejak SD baru beberapa tahun saja dimulai, dan sekolah menggunakan bi-lingual juga baru 'rintisan' (baru merintis), dan itupun belum berjalan, bahkan sudah menuai protes dari kalangan pencinta bahasa Indonesia karena dianggap tidak nasionalis. Belum merintis saja sudah dipatain (dipatahkan) bagaimana mau besar dan berkembang?.

Itulah Indonesia, yang selalu 'munafik' - kalau boleh menggunakan istilah itu. Bahwa bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional harus kita akui, selain bahasa-bahasa internasional lainnya. Tidak aib-aib banget jika memperkuat pembelajaran bahasa asing di sekolah, lebih dari satu bahasa secara serius dan terarah - saya kira bukan anti nasionalis - sehingga kemampuan bahasa asing rakyat kita juga meningkat. Saya pernah diprotes - juga semacam diejek - oleh warga India yang menjabat sebagai Direktur penerbangan Royal Brunei di Jeddah, yang dalam suatu sesi wisata ke Jakarta. Dia menggunakan taksi yang tidak bisa komunikasi dalam bahasa Inggris. Dia bilang, 'Indonesia apaan. Sopir taksi airport saja tidak pandai berbahasa asing'. Jadilah dia kesasar sana sini hingga terdampar di Taman Mini Indonesia Indah untuk melihat Indonesia. (Saya hanya mesem kecut mendengarnya).

Kebangkitan suatu bangsa diiringi dengan kemampuan bahasa asing, apa saja yang sedang menjadi bahasa resmi pergaulan dunia saat itu. Kalau dulu pada jaman keemasan Islam, bahasa internasionalnya adalah bahasa Arab, maka wajib bisa berbahasa Arab. Boleh jadi, nanti bangsa China yang akan menggantikan Barat menjadi kampium dunia, maka boleh jadi bahasa Mandarin yang menjadi bahasa pergaulan dunia. Harus bisa juga bahasa Mandarin, dst. Bahasa Indonesia baru dipakai di Makkah-Madinah saja, 'Siti Rahmah... bagus... bagus. Murah...murah, oleh pedagang disana menawarkan barang dagangannya yang juga banyak di tenabang".

salam damai,,,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun