Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mungkin Karena Linus Suryadi

14 September 2020   16:19 Diperbarui: 14 September 2020   16:28 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Prosa lirik "Pengakuan Pariyem" telah melambungkan nama almarhum Linus Suryadi Agustinus, Penyair asli Yogyakarta kelahiran 3 Maret 1951.  Penyair sederhana yang sangat Jawan dan senang vespa ini menempati satu ruang istimewa dalam khasanah sastra Indonesia. Khusus bagi saya, Linus punya jasa yang tampaknya masih membekas sampai sekarang.

Saya bersekolah di SMA Negeri 6 Yogyakarta di tahun 1982 - 1985. Saya sudah menyukai puisi sejak SMP, tetapi ketika SMA barulah saya mengalami perkembangan lumayan pesat. Yogya, memang ekosistem yang sangat baik bagi sastra. Pada masa itu, di harian lokal "Berita Nasional" ada rubrik khusus sastra untuk anak muda, "Remaja Nasional" atau biasa disingkat "Renas". Masih saya ingat pengasuh rubrik ini, Mas I Made Suarjana, yang belakangan saya tahu ternyata tetangga seseorang yang kelak menjadi istri saya di Karang Malang. Saya si anak dusun, saya lahir dan besar hingga lulus SMP di Bintan, mencoba mengirimkan puisi ke rubrik itu. Ditolak. Berkali-kali. Saya kirim lagi, dan lagi. Mungkin suatu kali, Mas Made kasihan sama saya, maka dimuatlah satu puisi saya. Masih saya ingat judulnya: Penjara. Dampaknya luar biasa. Saya seperti mendapatkan energi berlimpah untuk berkelana di dunia sastra. Energi yang kemudian menuai 'bencana' berupa amukan almarhum Bapak saya, ketika saya kelas dua SMA. Saya terlalu asik di dunia sastra dan berdampak kepada capaian akademik saya.

Kegandrungan saya kepada saya membuat saya, dengan berbagai keterbatasan, mencoba sesering mungkin terpapar dengan dunia sastra dan budaya. Saya menghadiri pembacaan cerpen almarhum Danarto, diskusi budaya dengan Emha Ainun Nadjib, dan pembacaaan puisi berbagai penyair, termasuk almarhum mas Linus Suryadi. Masih saya ingat bagaimana ia membacakan sajak dengan bersahaja, tapi membuat saya terpesona: 

Di San Fransisco
Di kota Bay
Tak ada tempo
Buat bersantai

Hasil dari paparan itu, lumayan. Puisi saya semakin sering dimuat di rubrik Renas asuhan Mas Made. Di semester kedua tahun 1984, saya berpikir, mungkin sudah waktunya saya mencoba menembus rubrik seni dan budaya yang diasuh oleh Mas Linus. Saya lupa apa namanya, tapi masih di harian yang sama. Kirim sekali. Ditolak. Kirim lagi, ditolak lagi. Entah pada penolakan ke berapa saya mendapatkan kiriman selembar surat. Dari Mas Linus Suryadi. Ia memberikan kritik lembut atas puisi-puisi yang saya kirim. Ia menitipkan pesan agar saya menemukan gaya saya sendiri. Caranya ialah dengan terus menulis. Puisi saya akhirnya tak pernah dimuat di rubrik yang diasuh oleh Mas Linus. Tapi, saya terus menulis puisi hingga saat ini. Di masa tahun 1990-an hingga awal 2000-an saya masih rajin mengirimkan puisi ke berbagai media. Ada dimuat sekali-sekali, di antaranya di Harian Suara Karya. Setelah masa itu ada beberapa kali saya mengirimkan puisi. Tak sekali pun dimuat. Sementara, saya tak lagi punya kegigihan seperti di masa remaja dulu. Mungkin karena saya telah memilih untuk menjadikan sastra semacam telaga yang saya kunjungi saat penat atas rutinitas mendera. 

Saat ini, dalam usia yang tak lagi muda, saya masih mencari gaya sendiri seperti yang dipesankan oleh Mas Linus puluhan tahun lalu. Mungkin tak akan pernah saya temukan. Akan tetapi, biarlah. Saya akan terus menulis puisi untuk saya baca sendiri, atau saya tunjukkan ke istri dan anak-anak, serta kepada sebanyak mungkin teman, lalu saya dokumentasikan di berbagai platform media digital serta buku. Dalam beberapa hari ini antologi puisi saya, self-publishing tentu saja, akan diluncurkan. 

Mungkin tidak ada faktor tunggal di masa lalu yang membawa seseorang kepada dirinya yang hari ini. Akan tetapi, saya percaya, dorongan dari Mas Linus Suryadi Agustinus adalah salah satu faktor yang membuat saya tetap menulis puisi hingga saat ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun