Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Ruas Jalan yang Selalu Kusapu Untukmu

3 Februari 2020   07:20 Diperbarui: 3 Februari 2020   07:19 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setiap pagi bersepeda kau lalui ruas jalan itu. Ujungnya bercabang dua. Ke kiri menuju pasar. Ke kanan, cabang yang selalu kau ambil, menuju sekolah. Kau, Cikgu Laila. Dara elok rupawan anak sulung Wan Hasballah, anak turun bangsawan dan pahlawan Melayu.

Di kedua tepi ruas jalan itu tumbuh puluhan pokok akasia yang berbaris rapat. Puluhan tahun sudah usianya. Setiap hari pokok-pokok itu menggugurkan dedaunan, tak terbilang jumlahnya. Dedaunan itu menutupi permukaan jalan. Setiap hari, sebelum kau tiba, kusapu dedaunan akasia sehingga ruas jalan tanah itu menjadi jelas dan mudah kau lalui. Selepas itu, akupun berlalu. 

Akan tetapi, ada masa-masa aku tak kuasa menanggung rindu. Sembari masih memegang sapu lidi, kutunggu engkau di pinggir jalan itu. Ketika kau melintas dan kita beradu pandang, aku kirimkan seulas senyumku. Kau balas memberikan senyum, mengangguk sopan, dan berlalu. Tentu tak sering kulakukan itu. Walau besar sangat inginku melihat senyummu. Cikgu Laila, aku mengasihimu. Sedari dulu.

Aku tak hendak kau celaka. Dua puluh tahun lalu, menjelang maghrib, seorang lelaki muda melalui ruas jalan itu. Tergesa-gesa ia mengayuh sepeda. Mendung tebal. Hujan sepertinya akan segera tiba. Di bangku tambahan duduk seorang anak perempuan. Anak sulungnya yang berusia hampir tiga tahun.

Tak disadari oleh lelaki itu seranting pohon yang cukup besar tersembunyi di balik dedaunan. Roda depan sepeda tersandung ranting pohon, sang lelaki kehilangan kendali. Mereka tersungkur. Sang anak perempuan terlempar ke pinggir jalan. Kepalanya menghantam pokok akasia. Sementara sang lelaki muda, ayah dari anak perempuan itu, tak mendapatkan cedera yang berarti.

Lelaki itu remuk jiwa dan raga. Disalahkan dirinya atas kepergian sang buah hati. Tak sanggup dihadapinya tatapan mata istrinya, keluarga, orang-orang. Walau tak ada terdengar orang menyalahkan, lelaki muda itu selalu merasa setiap tatapan mata menikamnya. Dari hari hingga ke minggu, dari minggu hingga ke bulan, bermenung saja kerjanya. Diabaikannya istri dan anak bungsu mereka.

Lelaki itu, aku. Makin hari perbuatanku makin tak jelas. Otakku macam dah senget. Miring. Antara kenyataan dan khayalan bercampur aduk dalam pikiran. Membingungkan. Lama-lama istriku tak tahan, ia menuntut cerai. Dikabulkan oleh pengadilan. Hakim menganggap aku suami yang tak pantas. Tak waras.

Nasib baik menghampiri. Mantan istriku itu dilamar oleh Wan Hasballah, seorang bangsawan yang terhormat. Ayahmu. Bukan ayah kandungmu. Sebab engkau, Cikgu Laila, ialah anak bungsuku. Anak yang kuabaikan tersebab rasa bersalahku atas kematian Aida, anak sulungku. Kakakmu.

Aku tak hendak kau celaka. Maka kusapu selalu ruas jalan itu. Kubersihkan dari dedaunan akasia yang menutupinya. Aku mengasihimu. Sedari dulu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun