Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan

16 Januari 2019   06:50 Diperbarui: 16 Januari 2019   07:01 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bapaknya bercerita, bahwa pada hari ia dilahirkan turun hujan yang sangat indah. "Dua kebahagiaan, satu kesedihan di hari itu. Engkau, satu-satunya anak lelakiku, lahir. Hujan yang paling indah di sepanjang hidupku turun. 

Tapi, Ibumu pergi. Selepas berjuang keras melahirkanmu, ia pulang ke kampung abadi. Aku percaya, ia masuk surga. Itu yang mungkin membuat kesedihanku tak begitu perih." 

Bapaknya melanjutkan cerita, hujan di hari itu sungguh tak mirip dengan hujan sebelumnya. Tak lebat, tapi lebih deras daripada gerimis. Suaranya ketika menumbuk atap rumah, membentur tanah dan membasahi pepohonan seperti menyatu membentuk simfoni yang merdu. Hujan itu bercampur dengan angin yang tipis, membawa kesejukan yang menentramkan. 

Di bawah hujan itu ibunya diantar ke tanah pekuburan dan dimakamkan. "Aku merasakan paduan yang seimbang antara duka, bahagia dan kedamaian", tutur sang bapak di suatu ketika.

Disebabkan kisah itu, lelaki itu merindukan hujan. Ia ingin berada di bawah hujan, menari, menengadah, menikmati setiap butir air yang dijatuhkan dari langit khusus untuknya. Tetapi, lebih tiga puluh tahun menunggu, tak sekalipun ia bertemu hujan. Tak juga sekadar gerimis. Pernah suatu kali mendung tebal menggantung di atas pemukimannya. 

Jantungnya berdegup lebih kencang, menanti saat berjumpa hujan. Entah apa pasal, mendung tebal itu perlahan melebar, menipis, lalu hilang.  Pernah dilihatnya mendung di kejauhan, lalu bergegas ia memacu motornya menuju mendung itu, tapi percuma. Mendung terus menjauh dan hilang. Mungkin berubah menjadi hujan, entah di mana.

Disebabkan rindunya kepada hujan, ia hampir tak pernah putus mengikuti prakiraan cuaca, memasang status di media sosial, menyapa sesiapa saja yang mungkin disapa untuk bertanya kabar datangnya hujan. Banyak yang tak percaya, bahwa ia tak pernah mendapatkan hujan. Ia dikira mengada-ada, sebab hujan mudah dijumpai di mana-mana. Kecuali tentu di beberapa tempat di bumi ini. 

Di Luxor, Mesir, hujan sangat jarang tiba ke permukaan bumi karena keburu menguap oleh udara yang panas. Lalu di Gurun Atacama, Chile, hujan tak pernah datang sejak lebih dari lima abad yang lalu.

Kepada sesiapa saja yang menuduhnya mencari sensasi, ia memaklumi. Berbagai komentar sarkastis di media sosial, kadangkala dibacanya dengan lapang dada. Selebihnya, tak ia baca. Waktunya banyak terpakai untuk mengejar hujan, melukis di teras rumah kayunya, atau bersunyi-sunyi di surau kecil tak seberapa jauh dari tempat ia tinggal. Sesekali ia bercakap-cakap lama dengan guru ngaji tua di surau itu. Guru ngaji itu adalah salah satu yang mempercayainya, selain lima kakak perempuannya beserta keluarga. 

Suatu kali ia bertanya kepada sang Guru, adakah ia tengah diazab Tuhan dengan tak pernah merasakan hujan. "Aku tak tahu, anakku. Apa yang kaualami memang di luar kebiasaan. Tetapi, setahuku, kehendak Tuhan tak pernah tunduk kepada kebiasaan. Jika kau bersabar, maka kau mendapatkan kemenangan." Bagi lelaki itu, inilah ujaran paling bijaksana yang pernah didengarnya.

Disebabkan kerinduannya yang dalam, ia menempuh ribuan kilometer untuk memburu hujan. Entah berapa banyak ia melukiskan hujan yang cuma bisa dilihatnya di televisi, video, gambar atau yang didengarnya melalui cerita-cerita. Di atas kanvasnya, hujan-hujan itu bermetamorfosis menjadi kegetiran, kerinduan, kebahagiaan, kemarahan, dan keheningan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun