Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara-suara pada Tengah Malam dari Pekarangan Belakang

13 Januari 2019   11:17 Diperbarui: 13 Januari 2019   11:20 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah lebih dari tiga pekan Aini selalu membangunkan Hanafi pada sekitar tengah malam. "Bang, Aini mendengar suara-suara di pekarangan belakang. Seperti suara gerit daun pintu dan langkah kaki. Tolonglah kau tengok ya Bang".

Mendengar aduan istrinya, sontak ia melompat dari ranjang dan bergegas menuju pekarangan belakang. Pekarangan itu kecil saja. Hanya sekitar satu setengah kali tiga meter persegi. Beberapa jenis krokot, sayuran, dan bunga tumbuh indah di sana. 

Pada sisi pekarangan yang berbatasan dengan tanah kosong terpasang tembok setinggi sepuluh meter. Terdapat sebuah pintu aluminium pada tembok itu. Dari sanakah suara gerit berasal?

Hanafi tak menemukan satupun yang mencurigakan. Tak ada jejak kaki. Tak ada tanda-tanda pintu terbuka. Meski begitu, ia terus berjalan mendekati. Diperiksanya dengan lebih teliti.  Pintu rapat tertutup.  Gembok utuh di tempatnya. Tak sedikitpun bergoyang. 

Matanya menyapu setiap bagian pekarangan, melihat kalau-kalau ada bekas tikus atau hewan lain melintas. Tak ada apa-apa. Diam dan senyap. Daunpun tak bergerak.

Ia kembali ke kamar. Sang istri telah tertidur. Suara-suara itu sepertinya tak didengarnya lagi. Dalam keadaan pulas begitu, selalu ada seulas senyum menyungging di bibirnya. Senyum yang menggetarkannya pada lebih dari 20 tahun lalu.

Ditatapnya wajah Aini dengan kasih dan iba. Telah lewat dari tiga purnama istrinya itu lebih banyak menjalani hari di tempat tidur. Kanker payudara stadium empat yang terlambat diketahui telah membuatnya terkapar. Semangat hidupnya benar tak henti berkobar, tetapi tubuhnya terus melemah.

Pada malam-malam berikutnya Aini selalu membangunkan Hanafi. Suara gerit dan langkah kaki terus membuatnya terjaga, ketakutan, merasa tak aman. Ia bukanlah perempuan manja. Boleh dikata sebelum ini tak pernah ia membangunkan suaminya untuk dilayani ini itu atau sekadar mengadukan sakit yang dirasanya. 

Sakit yang bagi kebanyakan orang boleh jadi tiada terperi itu selalu sanggup ia tahankan. Ia bahkan menolak keras ketika Hanafi memutuskan hendak cuti kerja supaya bisa merawat dan menjaganya dari pagi ke malam. Tak perlu. Tak tak ada yang terlalu perlu dijaga. Apa lagi, ada mak Ijah yang bisa mengawani dan melayani keperluannya di pagi hingga ke petang.

Akan tetapi, suara gerit dan langkah kaki itu sungguh terlalu. Kian hari, kian menyeramkan. Ia harus membangunkan Hanafi. Begitulah. Hanafi selalu bangkit dari tidurnya, lalu memeriksa pintu pekarangan belakang dan tak menemukan apa-apa. Ada masa ia kesal, juga letih. 

Terlebih, ia tak mudah tidur kembali sehabis terjaga. Sementara itu, anehnya, Aini selalu sudah terlelap sekembalinya ia dari memeriksa sumber suara. Seperti tak ada apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun