Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anugerah dari Ceruk Kematian

19 November 2012   13:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:03 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Amatilah perhelatan musim hujan di sekeliling kita, di sana, kan kautemukan ilalang hijau, tumbuh bersama rima panggilannya, kerelaan mendedikasikan diri kepada sekawanan anak rusa, tak terkecuali batinku merasa, seakan-akan menyetarakan haru yang muskil terperi, merasuki kesejatian alam yang setia merinaikan imaji, menarah di bingkahan tanah, aroma rambut akar dengan serimbun butiran air, demi imaji menujum takdir alam, demikianlah terkias purna, persembahan pesan bertabir persaudaraan abadi, tiada sunyi memisah jarak dataran kersang , angin bagas sangar berilusi, sanggar kemarau berhias semu, hiasan pelataran dedaunan meringkai, berujungjawaban damai meneduhkan, di bawah lengkung langit yang sama, di atas balai astaka perkataan yang sama, teduh melintas bagi syair–syair luhur di lenting dawai reranting, melantaskan kemenjadian diri seribu hulu, jiwa-jiwa di punca hulu turun-temurun, menenun anyaman buliran makna-makna kehidupan - senantiasalah berkelindan sampai ke hilir - keberadaan dalam diam keteladanan nan menawan, mengairi renungan yang meniti kesangatan lelah, dan melandaikan kelelahan ke dasar relung hati, nan tulus terpaut erat, nalar yang tersagang di bubungan kokoh dan erat berkhidmat baiat, nan mengusung-hantarkan helai-helai dedaunan berkanvas semesta menjiwai, demikianlah jiwa besar berkehendak, senyata ketidak-relaan kita membiar dari mata nurani, senyata menderaikansujud-pasrah terbentang dengan kualitasnya yang kirana, seperti berdiri tegak para penuturterutus mendaraskan cipta mahakreasi,tertutur tanpatirai yang merantai ragu dan ragu deras mendera, murni bercahaya takjub siapapun mereka dalam naungan Khalikul Alam - memang laik bermuasalkan kelemahan, agar kebenaran takkan terluput maksuddan hikmah sebuah proses – karnanya tiada pantas kuanulir penebusan kebaikan sahabat-sahabat, meski tidaklah setiap episode pengingkaran terus menggerus mata cekung, meratapi letih tungkai dan jemari dengan; sebaris bahasa dekadensi hari ke hari melinangi dengan; gentar, malu-malu, dan setengah hati menitiskan keagungan nilai-nilai melalui kekuatan menginspirasi, seperti memisahkan anugerah kehidupan dari ceruk kematian, saat aliran air bening memangku pengorbanannya bagi siapa saja, pangkuan riak kecil mengayunkan impian, ke jalan perintisan berwarangka kemustian melarik, bermandikan sajak-sajak syahdu gemerencik, bermadah nafiri puisi-puisi epik, hingga dia tidak lagi tersulut gamang, darimana asal-muasal jantungmu berdetak; hingga keraguanmu tidak lagi terhirau, mengapa kodrat alamlah mengembalikan daging dan darahnya, sebab haribaan itu tak meretak menyebarkan celah sekecil apapun, rapuh tergiur harga silih kepada siapapun, “Jangan beri aku tanya lagi, bagaimana bahasa jiwa direbahkan di antara ruang dan waktu, seketika kaki berjejakkan mozaik kerang emas, pandangan terpaku geta-geta dinasti, bantal bulu angsa dan lelangit tertabur berlian, jika sesungguhnya adalah lafal kita yang berbeda semenjak menara kedigdayaan dipraharakan selama berabad-abad, maka tiada yang lebih laik diamati dengan sebenar-benarnya selain jati diri ilalang melalui keakuan, karna ini tentang perjalanan, Sobat..., teruslah, terus berjuang, hingga nirwana keakuan kita bukanlah lagi tujuan.”

Keterangan terkait :

Kondrad menemukan sebuah catatan lama sahabat seperjuangan, Bara' S. Pujianto. Pikiran kembalimenanar, gelap terlempar ke sudut –sudut ruangan. “Ah, dia nubuatkan warisan jasad imajinernya, berbicara saat menorehkan visi . Akan tetapi dapatkah terjawab, masa lalu sediamenakar kapas putih, ketika mengembalikan maknautang nyawa kepada penglihatan waktuku nanti? ” Sejak lapisan kedua – aku satu dari bagian ini - mengambil alih barisan pertama, Almarhum yang seharusnya mundur selalu menyusup dan tampil terdepan, manakala tercium bahaya mengancam gerakan kami. Padahal aku tidak pernah meminta semua ini terjadi. Barangkali di sinilah titian bahasa jiwa, pertanyaanku dan jawabannya terpisah takdir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun