Mohon tunggu...
Henrico Fajar
Henrico Fajar Mohon Tunggu... Lainnya - Bergiat di SPEK-HAM

Terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Seksualitas

10 Mei 2021   13:30 Diperbarui: 10 Mei 2021   13:33 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Dalam berbagi kesempatan diskusi bersama para remaja, pertanyaan dasar yang selalu kami sampaikan kepada mereka adalah menurutmu apa pengertian seks? Jawaban mereka beragam ada yang menjawab seks adalah hubungan intim, saru, tabu, pornografi, sesuatu yang dilarang agama dan sebagainya.

Begitupun saat kami bertanya kapan menstruasi dan mimpi basah pertama kali? Bagaimana perasaannya saat itu? Dan siapa orang yang pertama kali yang diberitahu? Mereka tampak malu-malu menjawabnya. Walaupun setelah kami desak muncul pula jawaban dari mereka. Ada yang lupa dan ingat dengan waktu pertama kali menstruasi dan mimpi basah. Ada yang senang, takut, sakit saat pertama kali mengalami peristiwa tersebut. Sementara untuk jawaban bercerita dengan orang tua sebagian besar dilakukan remaja perempuan, sedangkan remaja laki-laki lebih senang menceritakannya kepada teman-teman seusianya.

Dalam hati, kami tidak heran mendengar jawaban tersebut. Sejak dahulu kala sampai dengan sekarang masyarakat kita terlanjur memaknai seks sebagai sesuatu yang tabu dan tidak layak untuk diperbincangkan. Seks harus disimpan rapat-rapat dalam hati, ditutup lalu dikunci. Budaya ketimuran yang kita anut membuat orang menjadi segan untuk mendiskusikan  seks dan seksualitas.

Banyak orang takut dianggap tidak beretika, tidak berpendidikan bahkan tidak bermoral saat mendiskusikan soal seks di lingkungan masyarakat, tempat kerja, sekolah dan di dalam keluarga masing-masing. Kondisi ini membuat generasi muda kita tumbuh menjadi pribadi yang tertutup saat membicarakan seksuaitas sehingga membuat mereka rentan menjadi pelaku maupun korban kekerasan seksual.

Masyarakat kita menganggap seks dan seksualitas adalah sama, padahal tidak demikian. Seks berkaitan dengan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), sedangkan Seksualitas menyangkut berbagai aspek atau dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, psikologis dan kultural.

Pada dimensi biologis, ini menyangkut organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan menfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Dimensi sosial, menyangkut hubungan antar manusia dan pengaruh lingkungan yang membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku manusia. Selanjutnya dimensi psikologis, ini menyangkut tentang indentitas peran atau jenis dan dinamika aspek psikologis (kognisi, emosi, motivasi, perilaku terhadap seksualitas itu sendiri). Yang terakhir adalah dimensi kultural, ini menunjukkan perilaku seks menjadi budaya yang ada di masyarakat.

Remaja di jaman kini lebih sering mengakses informasi apapun termasuk tentang seks dan seksualitas lewat internet dan media sosial dibanding bertanya langsung kepada orang tua, guru kelas, tenaga medis, konselor atau psikolog. Laporan Statista mencatat, pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2020 paling banyak yakni berusia 25-34 tahun. Pengguna laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 20,6% dan 14,8%. Posisi selanjutnya yakni pengguna usia 18-24 tahun. Pengguna laki-laki dan perempuan masing-masing sebanyak 16,1% dan 14,2%. Jumlah pengguna media sosial paling sedikit yakni berusia 55-64 tahun. Kemudian usia 65 tahun ke atas. 

 Media sosial ibarat pisau bermata dua, jika digunakan dengan baik bisa meningkatkan budaya literasi, maka manfaatnya akan sangat besar bagi kita untuk menambah pemahaman kita tentang suatu hal. Namun jika digunakan hal-hal yang tidak baik dan tidak bermanfaat, maka dapat menurunkan produktivitas kita. Apalagi untuk membully, menghujat dan memproduksi konten-konten pornografi atau kekerasan.

Mimimnya budaya literasi mengakibatkan remaja mengakses informasi yang tidak benar di media sosial, hal ini bisa menjerumuskan mereka ke dalam tindak kejahatan. Relasi yang terjalin atas nama cinta dalam pacaran seringkali tidak seimbang atau timpang, hal ini bisa berakibat pada terjadinya kekerasan seksual dan bisa pula memicu terjadinya perkawinan anak. Oleh karena itu kebutuhan remaja terhadap akses informasi dan pengetahuan tentang seksualitas secara benar, mutlak dipenuhi.

Orang tua harus bertanggung jawab melindungi anak-anaknya, selain itu kurikulum pendidikan kita dari jenjang SD hingga SMA/SMK sederajat harus menjamin terpenuhinya pengetahuan siswa untuk belajar bersama tentang seksualitas. Tujuan pendidikan nasional di Indonesia berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: "Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwaa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Dalam Pembukaan UUD 1945 secara jelas dinyatakan di sana bahwa salah satu tujuan Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan bangsannya maka materi-materi pengajaran tentang Kesehatan Reproduksi, Seks, Seksualitas dan Gender, Psikologi Remaja, Pubertas dan Remaja, Bijak Bermedia Sosial wajib diberikan untuk melengkapi materi-materi pengajaran yang sebelumnya sudah lebih dulu ada, seperti Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, IPA, PPKN, Biologi, Bimbingan Konseling dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun