Mohon tunggu...
Dedy Mardiansyah
Dedy Mardiansyah Mohon Tunggu... -

Staf Daerah Anggota DPD-RI Propinsi Bengkulu, Dra. Eni Khairani, M.Si. (2003-2007). Wartawan Harian Bengkulu Ekspress (2005-2007). Guru SMK Nurul Huda (2009-kini). Komisaris Koperasi Asrama Kalijaga PP Nurul Huda Sukaraja (2010-kini) Pendiri dan Komisaris Koperasi Pembangunan Desa (KOPEDES) OKU Timur (2009-kini). Direktur TRANS Institute OKU Timur.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agenda Nahdlatul Islam Indonesia (Bagian 1)

2 Januari 2012   03:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13254720021262758836

Dalam aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja) yang saya fahami, tema khilafah digariskan sebagai fungsi ibadah seorang manusia kualifikasi ulil albaab yang dengan prinsip tauhid melakukan sinergi nilai hablun min allah (ketuhanan), hablun min an-naas (kemanusiaan) dan hablun min al-alam (kejagadan). Ujung dari sinergisitas nilai ketuhanan, kemanusiaan dan kejagadan berbasis tauhid dan berorientasi ibadah itu adalah kebaikan bersama (maslahah).

Dengan kesadaran ini, tatakelola lingkungan, mulai dari mikro sampai makro, mulai dari keluarga sampai negara, sejatinya dapat berlangsung dengan sehat, dengan mudah dan mencapai situasi selamat plus mendatangkan manfaat. Keberkatan akan muncul karena aura dan energi positif dari segenap penjuru lingkungan bersangkutan bertaburan sebab tatakelolanya atau tatalaksananya yang sehat, mudah dan manfaat.

Praktek salah tatakelola dan salah tata laksana atau sederhanyana salah urus tentu tidak akan berkembang marak sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Dan musibah demi musibah baik yang disebabkan langsung oleh "human error" seperti rakyat semakin miskin dan terjepit karena semakin tak punya akses untuk bisa sejahtera dan kecelakaan-kecelakaan moda transportasi karena kondisinya yang sudah tua plus kurang perawatan atau yang tidak langsung seperti tsunami, gempa dan gunung berapi.

Parahnya, di tengah maraknya praktek salah urus berikut dampaknya tersebut, terma khilafah yang diedarkan ke publik adalah terma khilafah yang berat dan tidak praktis. Jauh dari realita kebutuhan dasar warga bangsa Indonesia. Wajar saja, karena masih terlalu menggunakan perspektif pemikir dan ilmuwan Arab.

Hasilnya bisa diduga, meski berangkat dari kasus-kasus yang aktual dan faktual seperti korupsi dan sejenisnya, produk atau solusi yang ditawarkan oleh pendekatan khilafah model ini menjadi tidak membumi. Terlalu bermimpi sebagaimana mimpi-mimpi kedatangan Ratu Adil, Mesiah atau Imam Mahdi. Tentu, hal ini menuai kontroversi dan resistensi atau reaksi negatif bahkan alergi dan antipati dari publik terutama dari semangat, corak dan watak Islam pribumi (nasionalis).

Formulasi Teologi Kebangsaan Indonesia

Perbincangan mengenai khilafah, sebagaimana paparan di atas, mau tidak mau menyinggung soal pendekatan atau metodologi yang itu berkaitan erat dengan paradigma, kerangka pemikiran atau sudut pandang. Yang pangkalnya tentu berkaitan dengan urusan ideologi dan hal ihwal teologi. Praktisnya, pendekatan diproduksi oleh sudut pandang dan sudut pandang dikonstruksi oleh basis nilai baik yang bernama ideologi maupun yang berupa teologi.

Dalam kasus, lokus dan fokus Indonesia, perbincangan bahkan pertarungan mengenai ideologi atau teologi dalam sejarah nasional berlangsung sangat dinamis bahkan tragis. Mulai dari epik sekedar pertarungan wacana di media massa hingga aksi saling kudeta. Mulai dari sekedar aksi culik menculik hingga tindakan pemusnahan massal (genocide). Lakon sejarah konsepsi ideologi dan teologi kebangsaan Indonesia itu memiliki babak-babak atau episode-episode yang bagi saya sangat hebat dan begitu khas Indonesia.

Di antara babak-babak itu yang paling pokok dalam pandangan saya adalah babak, yang oleh Abdurrahman Wahid (Presiden RI IV yang dipanggil Gus Dur), disebut pribumisasi agama. Dimana seperti Islam dengan teologi Ahlussunnah Wal Jama'ah (Aswaja)-nya berhasil membudaya dengan gemilang di nusantara. Prosesi artikulasi nilai-nilai kebijakan (wisdom) dari luar secara arif disebarkan ke dalam masyarakat. Agama dan adat, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Sunan Kalijaga, Walisanga atau semisalnya di luar Jawa, bukanlah dua entitas konflik. Tetapi justru menjadi kekuatan kostruktif dalam membina dan membangun masyarakat.

Proses yang dalam komunitas seperti Nahdlatul Ulama dikenal dengan al muhaafadzhatu 'ala al qadiim as shaalih wa al akhdzu bi al jadiid al ashlah yang berarti memelihara nilai-nilai lama yang bijak sembari mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih bijak. Yang dalam bahasa majalah Suara Muhammadiyah disebut dengan upaya “meneguhkan (tradisi) dan mencerahkan (lewat proses liberasi)”. Yang diformulasikan oleh Sulaiman Arrasuly, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah, adat basandi syara', syara' basandi kitaabullaah. Syara' mangato adat mamakai.

Formulasi teologi kebangsaan Indonesia menurut Syafi'i Maarif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) disebut dengan proses dimana agama menjadi tenda kultural bangsa. Yang diungkap oleh YB. Mangunwijaya (Romo Katolik karismatik paling populer di Indonesia) diistilahkan dengan 100% Katolik 100% Indonesia. Atau seperti formulasi Gus Dur sendiri yang menempatkan agama secara subtantif dan fungsional dalam pencarian batas-batas kepantasan hidup sebuah bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun