Mohon tunggu...
Begras Satria
Begras Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - CEO PT Natura Esensi Indonesia

Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Simulakra Pancasila

12 Juni 2017   05:18 Diperbarui: 12 Juni 2017   09:43 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jean Baudrillard, seorang filosof Perancis pernah berpendapat bahwa pada masyarakat modern, kenyataan telah digantikan oleh simulasi kenyataan, yang hanya diwakili oleh simbol dan tanda. Siapa yang membangun persepsi paling kuat, adalah pemenang. Persepsi itu, meskipun bukan kenyataan yang sebenarnya, diyakini sebagai kebenaran.

Meski digdaya dan menjadi arus besar yang digandrungi, sesungguhnya dunia sarat rekayasa itu hampa makna. Kehidupan yang mengalami meaningless, kata Anthony Giddens. Pemimpin tampak hebat, tetapi sejatinya penuh topeng dan rentan moral. Politik, digunakan untuk mengejar kejayaan dan ambisi dengan segala cara. Pada saat yang sama, tak peduli nilai dan keadaban.

Indonesia, kini telah memasuki episode politik simulakra. Politik yang diproduksi secara masif melalui konstruksi realitas semu, oleh sebuah industri komunikasi massa yang mengaburkan fakta. Episode industri politik yang melahirkan pemimpin melalui kebudayaan industri yang menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara kebenaran dan kepentingan politik.

Seperti halnya dunia politik di Indonesia, Pancasila hanyalah sebagai hiasan bibir belaka. Sejatinya Pancasila merupakan konsep paradoks positif, bukan paradoks sebagai sebuah negasi. Akan tetapi, Konsep Pancasila sekarang adalah konsep yang menilai paradoks sebagai sebuah negasi, yang membuat Pancasila seakan hanya sekedar menjadi alat menegasikan gagasan apapun.

Peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi, di harian Kompas (6/6/2017) membuat analisis politik berjudul "Negara (pura-pura) Pancasila. Dalam tulisannya, Kristiadi menyebutkan telah terjadi "Obral Retorika", yang selalu berulang dalam setiap orde perjalanan bangsa ini. Dari Orde Lama di era Soekarno, dan berulang hari ini pada rezim Jokowi.

Pancasila direduksi maknanya hanya sebagai jimat dan pusaka, bukan sebagai cita-cita yang menuntun kebijakan negara menjadi negara yang adil dan makmur. Dalam perjalanan berbangsa dan bernegara, kita patut bertanya mengapa Pancasila dalam usianya yang telah lebih dari tujuh dasawarsa masih banyak rakyat yang sengsara dan teraniaya ?

J Kristiadi juga menyebutkan bahwa, kondisi demikian penyebabnya multikausa. Meski demikian, penyebab utama semakin hari semakin kasat mata. Para penguasa meskipun mulutnya berbusa-busa bicara Pancasila, tetapi ternyata sebatas simulakra. Semua serba dimanipulasi, sekedar untuk bersiasat mereguk, memelihara dan mengumbar nafsu kuasa.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif berpendapat, pelaksanaan Pancasila sejak awal telah bermasalah. Sila kelima, misalnya, tidak pernah dijadikan pedoman utama dalam politik pembangunan nasional, kecuali dalam pernyataan verbal. Akibatnya, kesenjangan sosio-ekonomi semakin lebar.

Sesuatu yang sangat ironis di negara Pancasila. "Pancasila dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam perbuatan," kata Syafii Maarif yang disampaikan dalam Peringatan Hari Lahir Pancasila 2015 silam. Banyak tokoh dan negarawan berpendapat, berbagai langkah strategis perlu dilakukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pemikir kebangsaan Yudi Latif, dalam bukunya Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, menulis urgensi "radikalisasi Pancasila". Menurut Yudi, "radikalisasi" dalam arti ini adalah revolusi gagasan demi membuat Pancasila tegar, efektif, dan menjadi petunjuk bagaimana negara ini ditata kelola dengan benar. Yudi juga menyebutkan perlunya mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara.

Pancasila merupakan sebuah kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Suatu bingkai pemersatu bangsa. Ideologi tengah yang menjadi landasan pijak kehidupan kebangsaan. Pancasila harusnya hidup dalam setiap pola pikir dan tingkah laku kita. Pancasila harusnya bukan sekedar teori dari pemerintah, tetapi dengan perbuatan pancasilais, yakni mengentaskan kemiskinan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun