Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Perempuan

30 September 2022   17:48 Diperbarui: 30 September 2022   17:50 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Di satu meja sarapan.
Namanya Rani!
Rani siapa?
Hanya Rani!
Heh? Itu saja?

Mama seperti sekelibat, lengannya selalu gesit di paginya sarapan. Perempuan tercinta itu selalu begitu, seperti memasak waktu, di saban fajar. Layaknya dia nggak mau kehilangan momen bahwa pagi itu pandumaningnya urip yang adalah pembagian hidup, dan itu dimulai, semenjak mentari datang.

Mama tidak mau membahasnya bukan?
Siapa?
Perempuanku!
Hush! Makanlah dulu bocah!

Mama membeberkan masakan paginya yang beraroma harum, asapnya masih mengambang di sekeliling kayu meja. Lelaki bujang itu mulai menyendok sehabis menciumi hidangan sehingga parasnya berembun, dia melahap sebagai biasanya. Mama menatap, juga seperti biasanya.

Tak lama putera itu mengangkat muka, lalu badannya berdiri dan memeluk sang ibu untuk pamit mendulang kerja yang baru dilakoni sebeberapa saat terkahir ini.

Aku pergi! Katanya sembari mengambil jemari mamanya lalu mengendusnya, kadang-kadang lelaki kencur ini menghiburnya dengan tingkah yang tidak terduga. Melangkah menuju pintu muka, putera itu menoleh lagi.

Apakah sore nanti? Katanya.
Apanya?
Perempuanku!
Wanita paruh itu tidak menjawab kepalanya hanya mengangguk.

Dan sang fajar pun segera berlalu beriring dengan suara sepeda motornya, meninggalkan wajah perempuan yang telah lama sendiri. Suaminya telah lama pergi ke tempat baka dan dia menjanda, beranak lelaki bujang itu tadi.

Semestinya waktunya pagi sudah beranjak, namun pagi tampak diam di bawah langit, warna mendung membikin pagi sarat akan beban sehingga terlihat enggan beralih. Sekejap akan turun hujan, dari tebalnya awan mungkin airnya akan berlimpah.

Sudah empat belas hari ini, wanita itu menghitung hujan di pagi berturut-turut. Perempuan itu mencoba menatap keluar seakan membeningkan kaca jendela dengan matanya,namun warna mendung teramat liat, sehingga hanya tersisa buram.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun