Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjual Kenangan

19 Agustus 2022   05:55 Diperbarui: 19 Agustus 2022   06:01 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from pixabay.com

Pagi ini masih terlalu muda, sehingga belum bisa menarik nafas kerna semua udara masih berada di bawah langit dipan. Cuman satu perempuan yang sudah terjaga, mungkin dialah satu-satunya. Matanya sayu bagai tak pernah tersentuh malam. 

Kata orang-orang pasar, perempuan ini bermata subuh, buat menatapnya saja kita seperti tersihir, dingin dan bisa beku. Makanya orang-orang malas memandang matanya. Bisa rusak seharian kata mereka, tidak ada matahari!

Barangkali pukul dua, itu putaran orbit yang selalu diukur oleh perempuan itu dengan sangat tepat, setepat perputaran jarum halus jam dinding, namun orang-orang tidak  mau berurusan.

Dia, perempuan itu, duduk bersimpuh, tangan keringnya tekun membelai kertas-kertas bekas sehingga kusutnya merata, lalu dia menatanya merupa tumpukan sehelai kitab cerita. Kertas itu apa saja dan apa rupa, dia tidak hirau. Pukul dua jauh dari matahari dia selesai, dia meninggalkan dosis kertasnya di tanah rumah gedegnya, pergi ke perigi untuk mandi.

Pukul dua lebih lima belas, sehabis mandi, dia terlihat lebih putih, rambut lurusnya halus membasah, putih tirus parasnya kian menggaris, tapi matanya masih sedia kala. Mata sebelum tersentuh mentari. 

Dia beranjak mengambil bakul dan menaruh tumpukan kertas itu yang seperti berdesakan, berebutan menindih dasar bakul, namun jemari panjangnya cermat mencegah lembar-lembar itu tak terkoyak, dia mengolahnya sebagaimana telah berpuluh tahun berlaku.

 Setelah semua berkas terlelap di dalam bakul, perempuan itu mengikat bakulnya dengan kain selendang ke atas punggungnya. Dia telah siap pergi ke pasar, sebagaimana hari-hari kemarin, minggu, bulan, dan tahun kemarin.

Dia tidak mengunci pintu gubugnya, hanya mematikan lampu redup apinya sehingga hanya gulita yang tertinggal, tapi perempuan muda ini melangkah dengan kaki yang bermata, sepertinya telapak kakinya telah lama meninggalkan jejak tanah, sehingga kedua kaki mungilnya hanya melatari saja jejak di tanah pada satu jalan menuju pekan.

Tiba di pekan, dia mengambil tempatnya, sebuah sudut yang sedikit tertampak dari lalu lalang, lalu dia duduk diam, setelah sebelumnya menyeka basah keringat di keningnya. Perempuan kurus itu membuka bakulnya dan membiarkan kertas-kertas di dalamnya tertampak dan tersentuh embun yang masih jatuh. Pasar masih sunyi, hanya satu-dua manusia yang menyiapkan kelontongannya dan jualannya yang membutuhkan tenaga besar.

Kau sudah tiba nduk? Pakde penjual daging menyapanya tanpa mau melihat wajah perempuan itu. Namun yang disapa hanya menatap kertas jualannya, tidak ada jawaban dari bibir tipisnya. Dia hanya merapikan dan mengusap lembaran persegi di dalam keranjang kerucutnya.
Beberapa lelaki juga melewatinya saja, sebagian menyapa saja yang sudah terbiasa tanpa reaksi dari perempuan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun