Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sabtu Sore di Tahun Baru

31 Desember 2021   10:55 Diperbarui: 31 Desember 2021   11:03 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Kami berdua duduk di bangku dingin di dalam ruang kedap bioskop. Filem belum kunjung tergambar ke layar lebar, sinar lampu di langit-langit masih mengguyur terang. Beberapa masih berdatangan meneliti nomor kursi.
Sobat saya merambah bungkus popcorn di tangan saya, genggamannya besar sampai makanan gabus itu sedikit bertebaran. 

Kau jorok! Saya menghardik tapi dia tak menggubris. Kami memang di kenal dua lelaki yang berteman semenjak kecil. Usia kami sama antara 15 atau 16 tahun, tapi menurutku dia membosankan. Semakin kami membesar, semakin saya merasakan perbedaan.

Saya masih menatap layar kosong di depan, saat seorang gadis melewati aisle kursi kami. Tubuhnya berisi, kulitnya putih, rambutnya bleach pirang, matanya terlihat biru kosong.

Serta merta kawan saya memiting leher saya.
OMG! Kau lihat bibirnya! Kau lihat?  Dia setengah menjerit di kuping saya. Saya menepisnya.
Apa yang terjadi denganmu? Kata saya sebal.

Kau lihat betapa basah bibir indahnya! Aku mau mencium bibir itu! Kembali dia menjerit tertahan, matanya nyalang menatap perempuan merah yang berlalu di sisi.
Kau tak mau melihatnya, kawan! Bibirnya itu! Sambungnya.
Ya, Tuhan! Tutup mulutmu! Sergah saya, sedikit malu karena penikmat sekitar kami ikut mendengar ocehannya.

Oh! Aku telah jatuh cinta! Katanya.
Brengsek! Kata saya. Tutup bibirmu, atau aku akan meninjumu! Saya mengancamnya. Tapi dia tak menggubris, kepalanya berputar mengikuti lenggokan gadis blonde yang mengambil kursi jauh di depan kami, perempuan itu menghampiri pacarnya yang sudah lebih dahulu duduk menunggu.

Saya tak suka anak perempuan bule, kulit mereka seperti warna perak, dan parasnya sejauh memandang seperti lapisan cat yang memucat.  

Oh Tuhan! Bibir itu. Bibir itu harusnya ku cium! Aku begitu ingin! Teman saya masih saja mengoceh, dia bernafsu. Aku akan memotong telingaku demi untuk mencium bibirnya! Lanjutnya.

Sh**! Kau menjijikkan! Lalu saya bangkit dan meninggalkannya beserta muak saya yang memuncak, dan saya berjanji  tak berkehendak lagi berdekatan dengan bocah koplak seperti ini. Tanpa menoleh, saya melangkah gegas meninggalkan kawan saya yang sudah obsolet itu. Bodo amat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun