Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pasien Terakhir

4 Desember 2021   06:46 Diperbarui: 4 Desember 2021   07:02 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Aku sudah tak bisa menahan lagi, Syanti! Ku pikir aku resign! Akhirnya Rudi kembali membuka bicara, wajahnya seperti luka, perempuan itu menepinya lalu mendekap lelaki keren ini.  
Mungkin kita perlu break sayang! Syanti berbisik di telinga Rudi, wajahnya semu.
Kau tetap tak berkeinginan bersamaku, Syanti? Rudi bernegosiasi, tapi perempuan elok itu menggeleng lemah lembut.
Biarkan aku tetap di kehidupanku, Rudi! Bukankah kita telah demikian sering membahasnya? Maafkan! Mata merempuan itu mulai merembes ke dalam dada lelaki Rudi. Lalu lovely couple itu berpisah. Mungkin berakhir.

***

Beberapa tahun sudah berlalu, dokter Syanti masih sendiri, dia telah merampungkan spesialisasi dan melanjutkan musim yang terputus cerita.  Bermusim Syanti tak pernah berjumpa dengan Rudi, sang pria yang pergi. 

Dia tak hendak tergenang kenangan, sementara bayangan lelaki Rudi telah menjadi mimpi tak bertepi. Perempuan itu sudah melewati hati patah yang tak pernah dikenalnya lagi, apalagi kesibukannya sebagai psikiatri keahlian jiwa terkini.

Ah! Seandainya dia bisa berbicara sekarang kepada Rudi, pastilah lebih berbobot ketimbang silam. Barangkali Rudi bisa ditahankan untuk kembali pulang ke dunia yang katanya bumi televisi.

Tapi jurang sudah teramat lama, sepeti lompatan kuantum yang tidak dimengerti. Syanti sesekali tepekur di sela konsultasi yang datang beraneka macam. Apakah akan mengubur Rudi yang tak bisa ditunggu? Perempuan itu tak tau. Dia hanya mengalihkan untuk berkonsentrasi mereparasi luka-luka jiwa pasien untuk bisa pulang kembali ke dalam batas pagarnya.

Berpuluh tahun kembali termakan waktu, dokter Syanti berkutat dengan jiwa-jiwa orang yang goncang hingga seketika waktu berlaku seakan singkat, Syanti ditempatkan di rumah sakit jiwa yang berat, kesibukannya bertambah, sekaligus mentalnya pun terdera kesepuhan. 

Betapa melelahkan, membedakan dunia dan udara, sehingga sering perempuan ini mengambil ruang yang bening untuk membedakan kegilaan dan kenormalan.
Aku pikir aku harus liren!  Paling tidak untuk memulihkan batin diriku sendiri! Begitu sampai pada keputusan dokter wanita ahli ini.

Hingga saat di hari kerja terakhirnya seorang lelaki baya yang dikirim sebagai pasien bermasalah jiwa. Di sore yang suram, di dalam ruang konsulnya yang lega, Syanti menatap tajam ke lelaki penderita.

Apa yang bapak rasakan? Katanya membuka.
Ah! Dokter! Saya telah lama merasakan bagian diri saya seperti mayat yang belum dikenali oleh siapapun sebagai mayat. Ah! Apakah begitu? Maksud saya..mungkin.. Ah! Lelaki itu tak meneruskan.
Apakah bapak hidup seperti umumnya?
Eh! Saya sudah lama keluar dari situ, dokter! Maksud saya..Jawab pria terputus.
Dari televisi? Ruang keluarga? Mobil? Liburan? Tiba-tiba Syanti memburu pertanyaan gencar yang bagai mengendap lama. Ada sesuatu yang pernah dikenalnya atau paling tidak sesuatu yang pernah hilang.
Semuanya dokter! Kehidupan normal itu telah lama tampak menjijikkan bagi saya. Sudah berpuluh tahun lalu saya membuangnya dokter. Kuliah, rumah, pekerjaan normal jam 9-5. Pria setengah abad itu menjawab kalem.
Kenapa? Tiba-tiba Syanti memotong, menjadikan lelaki itu tertegun. Lalu pria itu tampak menarik udara panjang sesuka hatinya ke dalam dadanya yang membusung.

Ada rasa pembusukan disana yang tak dapat saya hindarkan. Dokter tau, itu seperti hanya hidup di dalam gelembung yang diproyeksikan hampir seperti televisi. Lelaki itu berhenti, dia menatap dokter Syanti yang melongo.
Boleh saya lanjut dokter?
Ah! Go ahead! Perintah Syanti tergagap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun