Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jendela Lantai 8

29 November 2021   21:17 Diperbarui: 1 Desember 2021   20:45 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini berakhir sendirian, sungguh! Dan aku sudah menulis tanpa tidur, apalagi berpacu mengejar setoran tulisan di papan itu. Blok of the year, yang menjadi impianku semenjak sekolah esde, dan tak pernah berhenti menghantui sepanjang kehidupanku.

Luna istriku yang pernah cantik, sudah berhenti lama dengan persoalan begadang ini. Yang ku ingat sejak tubuh langsing indahnya mulai termakan usia dan lemak. Dia meminum soda, belum lagi lain-lain gula, hingga di ranjang dia berbicara sembari mereguk liquid kesukaannya. 

Aku membungkuk mengejar bongkahan-bongkahan kertas tulisan, sementara Luna berbicara panjang dan terkadang berteriak. Aku juga mengeluarkan umpatan keras sesekali, namun perempuan itu malah mengutuk. Hingga titik deadline dari blok of the year. Bayangkan!

Kau tak akan pernah memenangkannya Robi tua! Rutuknya. Seusia kehidupanmu, kau hanya feriferal Bukankah begitu Robi? Luna, istri yang terlihat lebih pendek dari sejak pacaran, masih menggenggam kaleng sodanya. Aku menutup telinga dengan menulis babak akhir tulisanku.

Kau tidak pernah selesai kan? Tulisan itu tidak pernah berujung bukan, heh Robi! Cetusnya.
Please Luna! Aku sudah berakhir dan aku perlu tidur! Pangkasku pendek.

Apa? Tidur? Come on Robi! Kau tidak pernah tidur! Kau tidak perlu tidur bukan? Kau menelan semua tulisanmu, dan aku telah selesai dengan ini! Kau mengerti Robi! Balasnya bertubi-tubi.

Luna masih mengeluarkan suara dari bibirnya yang pernah indah, dan bunyi halus kunyahan kletikan seperti suara putaran pompa mini. Aku menyukai suaranya ketika dia mengemil, seperti lagu kenangan yang lembut yang sudah hampir punah.

Apakah kau akan diam saja, Robi? Dia bertanya sementara aku sedang bersusah payah memejamkan kedua bola mata yang terus saja mengganjel. 

Lalu, seperti biasanya, dia merujuk ke meja tulis dan menelisik segala tulisanku. Barulah suara sosok istri yang merdu itu mulai menyepi. Aku mengerti itu telah dilakukannya sejak muda sampai sekarang tanpa satupun terluput.

Pastinya Luna akan membisu sehabis membaca segala kertas-kertasku di atas meja, dan aku idem dito, membiarkan dia dalam diam, seperti mendengarkan malam. Aku yang paling tahu di dalam kalbunya ketimbang tampilan luarnya yang berisik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun