Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Penyair

5 November 2021   14:59 Diperbarui: 5 November 2021   15:23 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Saya adalah penerbit anda! Seseorang berteriak di luar dan saya berteriak kembali.

Saya tidak punya penerbit! Cobalah kau cari tempat di sebelah!

Dan dia balas berteriak. Anda adalah penyair itu, bukan? Lalu saya menghampiri celah kayu pintu, mengintipnya untuk memastikannya bahwa itu bukan orang kurang kerjaan.  Perlahan membuka pintu dan menyuruh mereka masuk. Ada dua orang sekarang di seberang saya. Saya mengenalinya satu.

Bukankah kau penyair itu? Aku bicara ke satunya, dan dia mengangguk serta menarik lenganku.

Orang ini Charles! Dia seorang editor. Orang baru dan kami berpandangan, tapi kemudian matanya berkeliling ke seluruh dimensi kamar saya. Saya melenguh.

Oke duduklah! Saya menawari dua kaleng minum, hanya penyair tamu yang mereguk, sang editor tak menyentuhnya, jadi saya meraihnya lagi dan,  kreek! Saya menyobek penutup can dan menyeruputnya.

Orang editor berwajah dingin dan berbaju licin itu tidak banyak bicara bahkan tidak bergerak. Dan saya menjelaskan bahwa saya bukanlah seorang penyair atau esais dalam pengertian yang biasa. Saya memberitahu mereka tentang preman-preman dan copet di sekeliling dinding kamar saya. Berdekatan dengan beberapa penjara dan perempuan malam, juga penghutang yang di kejar-kejar. Anak-anak silver dan asongan dan segala yang serupa.

Namun editor tiba-tiba mengeluarkan lima majalah dari portofolio headline dan melemparkannya ke meja sampai menggulingkan kaleng-kaleng kosong. Lalu editor klimis itu berucap tentang penyair-penyair modern, kantoran. Esais empat el langganan baris kepala majalah yang bersanjung, bergelar hadiah bulanan seperti gajih. 

Katanya hidup mereka sekarang rapi, serapih pantunnya, bersih, selicin  kukunya. Editor itu hampir tak berhenti mengoceh kemegahan dan istana penyair dan lain-lain.
Saya hanya menatap bawah, dan meminta maaf untuk kaleng-kaleng yang berserakan, kertas berserak, janggut saya, bau dan segala yang ada di lantai kami bertiga ini.

Lalu tamu itu menguap sehabis kelelahan mengenalkan tingkat portofolionya yang seluas langit, saya sendiri yang menahan kantuk demi mereka dan memohon untuk melanjutkan obrolan kekuasaan awan mereka.
Tapi tiba-tiba editor berdiri, kedua kakinya mengais menyingkirkan gulingan kaleng minuman di lantai.

Hei! Apakah anda akan pergi? Saya berkata. Tapi kedua manusia itu tak mau berbicara lagi, editor dan penyair genteng itu berjalan keluar pintu meninggalkan tubuh saya yang mulai berkeringat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun