Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pohon dan Burung Kecil

29 Agustus 2021   17:52 Diperbarui: 29 Agustus 2021   18:47 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari pixabay.com

Kemudian aku mengambil tempat ke depan orang-orang itu, tepat di sebelah batang pohon yang tampak semakin kosong dan mati.

Saudara sekalian! Maaf saya harus mengatakan ini! Kataku sedikit volum. Dan mereka menatapku sambil meredakan tangis.

Saya pikir setiap kita yang hidup memiliki satu ruang dalam, begitu juga yang telah mati. Perkara kita sudah atau belum memakainya itu menjadi persoalan lain. Namun, please, hormatilah ruang dalam yang dimiliki masing-masing! 

Aku mengucap seperti pidato.  Dan hadirin yang kelihatan berduka itu menghentikan isak tangisnya. Entah mereka mengerti atau tidak, aku tak memikirkannya. Aku hanya menjaga suasana bahwa baru saja terjadi kekosongan pohon muda ini dan penghuni pohon ini tentu saja masih dalam keadaan ketidakpastian.

Aku yang sering bertemu dengan pohon ini mengerti betul bahwa menghadapi kekosongan dari ruang dalamnya adalah suatu pengalaman baru, meski akhirnya aliran alam akan membimbingnya.

Akhirnya mentari senja melewati kami, dan mereka yang bersimpati satu persatu mengundurkan diri dengan menelan kegelapannya sendiri-sendiri. Sedang aku masih menemani, berdiri disebelah batang kayu ini, aku hanya berdiri mematung ketika seekor burung hinggap pada ranting teratas pohon kosong itu. 

Burung mungil itu berkicau dengan suara rendah, namun suaranya hampir tak terdengar, nyaris hilang tertelan angin senja. Aku memandang burung belia itu dan mengerti kehadirannya.

Lama ku menysun kata untuk menyatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Namun sang  burung tak mau beranjak. Ku lihat mata bundarnya basah, sebagai mengatakan bahwa pohon ini adalah rumah yang dicintainya dan sekarang harus ditinggalkannya.

Kau harus pergi terbang! Kataku dengan suara halus takut menyinggungnya. Terlihat mahluk kecil bersayap itu merunduk ragu-ragu.

Terbanglah! Tak ada yang  akan menangisimu lagi! Kataku meyakinkannya. Dia mengangkat kepalanya memandangku dengan mata seperti kaca. Sebentar kemudian dia bergerak memutar tubuh ringannya, namun kembali kepalanya berputar memandangku. Aku membalas tatap matanya sebagai tanda meyakinkannya. Sehingga pada akhirnya mahluk indah itu mulai mengepakkan kedua sayap dan mulai mengangkat tubuhnya perlahan dan meninggi dan semakin tinggi.

Aku memandangnya sampai dia menghilang, sambil berusaha menyembunyikan linangan air mataku. Aku takut seandainya dia mendengar tangisanku ini, mungkin saja akan membuatnya kembali ke tubuhnya, kayu aslinya ini, dan kupikir itu mungkin salah. Karena dia masih begitu muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun