Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kucing di Jendela

18 Agustus 2021   17:52 Diperbarui: 18 Agustus 2021   18:01 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kau masih di jendela dan aku masih mati. Perempuan coklat itu datang saban pagi, aku tau dia berpikir tentang putri salju yang bisa bangkit dari kematian. Tapi aku bukan. Kau hanya berpikir, besok, besok dan besok dari tidur yang dikirimkan malam. Aku bukan dari matahari, melainkan dari putus asa yang tenang. Harusnya kau tau, apalagi sebagai perempuan cantik bermata indah.

Perjalanan setahun seperti hanya sebuah bingkai jendela, dimana didalamnya terjalin jalan yang panjang yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Aku bahkan sampai tak mengerti mengapa kau menanti di depan jendela seperti potret. Semenjak kehilangan hari suku kata terakhir, mestinya kau tau bahwa sudah terjadi kehilangan dunia.

Atau kau takut untuk meloncat, masuk menerjang kotak jendela, karena tidak pernah diketahui kepastian di dalamnya. Bisa juga kau menanti sewaktu-waktu kau bisa menarik diriku keluar dari lubang ini, kembali ke tempat yang selama ini kita kenal. Jikalau demikian, kau memiliki harapan yang terjaga, sementara di sebaliknya, aku menidurkan harapan.

Sekarang sudah memasuki bulan ke duapuluh dua, kau masih berdiri di depan jendela. Apakah aku akan terjaga? Tidak semudah itu, sayang. Setelah kematian-kematian yang terbentang dan kematian yang berkali-kali. Aku masih mati. Naluri perempuanmu memberi firasat? Mungkin saja!
Kau bilang ini tidak alamiah, tidak seperti segala hal yang pernah dilahirkan alam. Ini menentang alam, sesuatu telah berada di baliknya yang semestinya tampak.  

Selama kau menunggu di muka jendela, tak kurasakan lain selain terbelenggu. Aku tak bisa pulang atau kembali seperti yang kau harapkan.

Aku melihat anak-anak memakai baju tua dan bernyanyi matahari terbenam. Kupikir anak-anak suka bermain denganmu, karena mereka berkata kulitmu selembut salju dan kau sangat perempuan. Diam dan penurut. Tapi sekarang kau tidak mau melihat mereka, seperti penonton yang melihat sinar buatan dan melihat kuburan.

Selama ini aku berpikiran sama dengan kamu, dimanapun aku tersesat kau akan pergi bersamaku. Meskipun aku mungkin mengembara ke tanah yang lebih manis, kau tidak akan segera melupakan tanganku.

Juga caraku memegang kepalamu, dan segala hal gemetar yang aku katakan ketika lelaki-lelaki lain berusaha mencumbumu, namun kau masih tetap memandangku sebagai pria yang benderang dan putih. Lalu kita sering tersenyum di malam rahasia, seakan-akan kau mengatakan untuk menjaga citraku, dimanapun tanpa kehadiranku.

Melihat dirimu di depan kotak jendela sejatinya membuatku seperti kehilangan dua kali. Pertama kehilangan bumi dan kedua kehilangan kamu. Dan tak ada hari yang dinantikan kecuali hari yang datang berkibar kembali. Kerna apa? Kerna kau telah menyimpanku dalam ingatanmu dan mengatakan nanti tentang cinta diriku. 

Itulah mereka yang mati kemarin dan kemarin dan kemarin, yang tidak bisa pulang dan telah menjadi matematika tak bertuan, sehingga tidak bisa meninggalkan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun