Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Babak Empat Opera Italia, Akankah Berakhir?

6 Juli 2021   09:21 Diperbarui: 6 Juli 2021   09:27 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Feature: Busquets-Enrique-Mancini-Jorginho. Sumber: foottheball.com

Luis Enrique bersenandung "Que Viva Espana" sembari mengayuh sepeda "carbon Lefty" hitamnya menyusuri kota Vigo. Sebagai penyuka mati sepeda terutama sepeda gunung. Seandainya dia berada di Jakarta, dia pasti akan bergairah menjajal jalur khusus sepeda Sudirman-Thamrin mumpung belum dibongkar. Jika pun dibongkar 'Lucho' akan lebih tertantang karena doi memang kecanduan trek jalan tanah berkerikil.

Enrique adalah 'ironman' penyuka olahraga keras dengan spirit 'spaniard' yang tak mudah padam. Pemakai formasi 4-3-3 yang sesuai dengan karakteristik permainan cepat 'la Roja'. Di semifinal Euro 2020 ini, Luis akan berpapasan dengan dengan 'two in one' eks pemain dan pelatih Roberto Mancini, seorang pria sejati penuh gaya. 

Jika mereka bersamaan berada di Jakarta, keduanya akan terpisah dengan masing-masing passionnya, karena gairah yang berbeda, Mancini bermain 'padel', olah raga raket populer di Italia. Entah apakah ada padel court di sini? Oh, mama mia! Kalau begitu biar saja dia mendesain syal elegan untuk timnas, mungkin? 

Serupa dengan Luis, Roberto juga penganut 4-3-3 dengan prinsip bermain dari belakang dan mendikte kecepatan. Namun sejak beberapa tahun ke belakang, Mancini banyak berubah, tak lagi kompleks dan non kompromi. "Saya baru saja menjadi tua," katanya. Iman Katoliknya banyak menjelaskan religiusitasnya lewat ziarah-ziarah kepada Santa Maria. Lalu Mancini tidak saja menjadi pelatih, tapi juga sebagai 'padre' buat pasukan 'La Nazionale'.

'Head to head' formasi 4-3-3 selalu menarik. Sistem yang ditemukan Jose Mourinho ini begitu sukses pada era kejayaannya di  Chelsea, menafikan formasi tertua 4-4-2 yang telah menjadi usang. 

Sepakbola pun menjadi modern, pada saat penyerangan, pelebaran yang dikerjakan 'full back' akan menetapkan level kritis pertahanan lawan yang ikut melebar dan terbuka. Begitu sebaliknya, fleksibilitas serang ke bentuk bertahan akan menjadi hitung-hitungan di lapangan, apakah mengambil 4-1-4-1 atau 5-3-2.

Biasanya tiga gelandang Italia akan memainkan Jorginho (tengah) dan Marco Verrati (kiri) untuk mengendalikan lini tengah, sedang Barella (kanan) naik ke barisan penyerang, berderet dengan Chiesa, Insigne, Immobile, dan 'full back' Spinazzola. Kelihatannya Italia menjadi 3-2-5 saat menyerang, suatu serangan yang keras.

Serupa dengan Spanyol, hanya sedikit berbeda, Spanyol akan mengirim kedua 'full back' dan mempertahankan tengah dengan 3V2 terhadap Italia. Pertahanan juga jadi cenderung 2V3 terhadap Italia.

Meskipun Italia telah bertransformasi serang, aroma 'cattenaccio' masih mengikat dengan menyisakan tiga belakang Chiellini, Bonucci dan Di Lorenzo. Sebaliknya Spanyol sangat percaya diri dengan dua 'center back' nya, PauTorres dan Aymeric Laporte. Meskipun tanpa Sergio Ramos yang absen terkait kebugaran, kepemipinan belakang di lapangan masih bisa ditangani Jordi Alba, walaupun tidak termasuk di dalam kamar ganti.

Dengan formasi yang serupa, maka tim gelandang akan memainkan kartu permainan, Spanyol terkenal dengan tim gelandang yang mencetak gol, meski kali ini tak ada striker sekaliber Fernando Torres ataupun striker 'out-to-out' Sergio Aguero. Ini jelas merupakan ancaman serius buat Italia, bahkan akan menjadi titik keunggulan Spanyol untuk memupus mimpi Gli Azzurri dan pemujanya.

Lebih fokus lagi ini akan menjadi 'head-to-head' nya dua 'playmaker' atau 'deep-lying-defender' Sergio Busquets vs Jorginho.

Keahlian 'box-to-box' yang diperankan  Sergio Busquets untuk mengalirkan bentuk pergerakan kotak umpan balik dengan para penyerangnya maupun antar gelandang sering tak terduga. 

Penguasaan dominasi terhadap lini tengah dengan mempertahankan kepemilikan bola, sangat membantu dua 'full back' nyaman bergabung di penyerangan. Disamping itu Busquets juga petarung kontak fisik dan pentekel handal untuk merebut bola.

Sedang Jorginho, saya pikir, terlalu kalem dan lamban, namun memiliki visi yang baik untuk umpan panjang, pula di belakang dia ahli menjadi titik 'build up' pasca Italia lepas dari serangan di pertahanan. Chemistry dengan para 'sweeper' Chiellini dan Bonucci sudah tercipta.

Jadi jangan sedih bila Spanyol nanti akan mengalahkan Italia, karena keahlian Busquets sedikit di atas Jorginho. Serangan orang-orang Italia yang memiliki 'power' akan rapuh dalam penguasaan bola Spanyol, melalui pergerakan, operan dan keterampilan bola mengalir mereka.

Spanyol memang  negara pelukis, penyair dan musisi, mereka mengalir seperti 'tiki-taka', tidak ada perbincangan intelektual melainkan melulu filosofi dalam sepakbolanya. Dan Spanyol akan menyuruh Italia untuk menyelesaikan opera sedih empat babaknya, 'La Gioconda' dari Ponchielli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun