Dan pagi ini, saat aku menggelinding kembali di jalan raya, timbul rasa ciut. Keengganan menghantui saat mengemudi di keramaian. Bagaimana jika aku bertemu dengan cinta di jalan raya? Hatiku was-was. Apa yang harus kulakukan jika dia melihatku? Aku menjadi salah tingkah sendiri, melihat ke kanan dan ke kiri, meski tak kutemui.Â
Hingga akhirnya ku putuskan dalam hati, seandainya bertemu, aku biarkan dia melihat betapa entengnya lagak tak peduli yang akan ku peragakan. Andaipun berpapasan, biarkan dia menempuh jalannya sendiri, sementara aku akan mengambil jalanku sendiri. Mungkin sambil bersenandung ringan kalaupun dia melirik padaku, dan biarkan saja dia merasa tanpa dihiraukan.
Dan aku merasa menang bisa tak acuh di hadapannya dan membuatku kalem saja sampai usai jam kerja dan kembali pulang ke rumah.
Apakah harimu bahagia, Anak Gadisku? Sang mama kembali membelai pipiku saat bermanja di sofa.
Aku sukak, Mama. Ku pikir aku sudah tak mengindahkannya. Jawabku manja
Siapa? Si Joni lagi?
Bukan Mama! Joni sudah skakmat!
Lalu?
Aku sudah bisa mengabaikan cinta! Aku bisa tanpa cinta! Jawabku dengan suara tanggung di muka wajah Mama yang tersenyum kecil.
Lalu malam turun seperti rok hitam yang besar. Aku masih menghadapi jendela kamar yang terbuka, melamun ke langit yang berwarna abu. Bertanya lebih kepada diri sendiri ketimbang semesta.
Ah! Bagaimana jika cinta datang di malam yang hitam ini? Bagaimanakah kabar beritanya? Apakah dia menderita dan wajahnya pucat? Ataukah dia harus mencari di depan pintu saya?
Hatiku pun galau lalu menutup jendela dan mengambil tempat tidur untuk membaca sebelum ku lelap. Ku pikir, aku akan berpura-pura membaca seandainya dia datang dan aku akan lebih baik tanpa dia.Â
Hingga pada akhirnya suara ketukan di pintu terdengar. Aku tahu dia datang, meski berdebar, aku membiarkan dia meneruskan suara pintu hingga lelah dan menghentikan ketukannya. Aku pura-pura terus membaca, mungkin saja dia membayangkan wajahku yang sedang menahan tawa.
Dia mengetuk pintu cukup lama, dari suaranya yang keras sampai akhirnya melemah, membuat hatiku yang sejak awal meronta menjadi lunglai. Â Benarkah aku bisa tanpa dia?
Oh,Tuan! Tidakkah aku tahu aku akan memeluknya dan menangis padanya?
Oh, masuklah, sayangku!
Dan aku berlari ke pintu dan membukakannya.