Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Besar

17 Juni 2021   00:07 Diperbarui: 17 Juni 2021   00:19 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh David Mark dari Pixabay

Rumah besar itu akan segera rampung. Banyak pekerja menyurut tak seperti sebelumnya. Mereka yang tersisa bergerak seragam, hanya kerja memoles supaya kinclong. Empunya kerap tiba untuk meneliti dengan seksama bersama arsitek, berkeliling dan menaiki balkon yang berlapis lima keatas, sehingga tubuh orang-orang itu terlihat kecil seperti menyentuh langit. 

Rumah itu sangat besar, terlalu besar malah menurut mataku. Pastilah banyak rumah yang ada di dalamnya pikirku, rumah ini lebih besar dari rumah-rumah sekitar yang jadi terlihat kecil. Rumah baru ini lebih besar dari segala alam di sekelilingnya. Terkadang ketika aku memandang, serta merta menjelmakan ketakutan. Apakah rumah itu rumah penyelamatan? Kadang kepalaku yang kurang ini berpikir. 

Dari dalam rumah kecilku yang hanya berisi perabot serba mini, dari meja sampai ranjang,  dengan ruang sempit yang menyekap diriku sendiri selama hampir separuh hidupku. Betapa semenjak kehadiran rumah besar itu, rumah pengapku bukan lagi menjadi tempat kedamaian dan kegembiraan dan tiba-tiba mulai dibasahi air mata. 

Setiap mataku memandang rumah besar yang dibangun dengan kokoh itu, pastilah akan ada kedamaian dan keamanan yang abadi disana. Seakan ku membaca, rumah besar ini tidak bisa membiarkan air mata masuk. Rumah mewah yang menyimpan melulu kebahagiaan.

Hingga tibalah waktunya rumah gahar itu selesai dibangun, besar dan mewah, membuat orang-orang sekitar memikirkannya saja tak sanggup apalagi menduga-duga isinya. Demikian mata memandang, tak kuasa berlama-lama, serta merta kelopak mata akan terpejam dengan sendirinya. Menyilaukan dan menundukkan kepala seperti hening cipta. 

Apalagi diriku, yang termasuk ke dalam golongan margin di sekitar, merasakan kecil dan rendah. Satu kali kami yang fakir pas-pasan ini sampai berlinang air mata, mendapati hati dan tubuh kami terasa nelangsa, bagai diingatkan sebagai mahluk berdosa.

Tiada tampak selamatan seperti menjadi kebiasaan rumah anyar, saat pertama rumah terbuka. Para pemilik yang berpakaian bagus tampak beriring melangkah masuk kedalam rumah indah itu. Mereka berjalan seperti terbang tidak menapak alas, ringan melewati pintu masuknya yang tinggi besar. Kami sebagian besar rakyat kecil hanya menatap mata, hanya bisa memata-matai dari kejauhan dengan segala rupa perasaan yang berkecamuk.

Apakah mereka dewa? Tetangga gubuk sebelahku spontan bertanya lebih pada rasa kekaguman, yang diakuri dengan anggukan kepala lainnya.

Kira-kira dari mana mereka pak? Kerabat selang satu rumah denganku  bertanya sambil menyenggol lenganku. Dan kupikir dia salah satu orang yang bisa berpikir logis. Aku garuk-garuk kepala mencari sahutan yang tepat namun sulit.

Dari negara antah-berantah! Imbuhku. Dan kumpulan orang-orang papa di sekitarku ini terperanjat, bahkan sampai ada yang meloncat masuk ke dalam parit sehingga membuat kegaduhan kecil.

Huussshhh..! Jangan bising! Kataku mendesis sembari merunduk rata di badan parit. Diikuti pasukan kroco mumet ini, dengan seragam mereka merendahkan kepalanya rata setinggi permukaan lembah parit. Sekendali keadaan, kembali kepala kami mulai menyembul memperhatikan orang-orang mulia itu keluar dari beberapa mobil mewah berjalan melayang masuk ke rumah mega itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun