Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Leicester City dan Dongeng Terbaik dalam Sejarah Liga Premier Inggris

17 Mei 2021   00:11 Diperbarui: 17 Mei 2021   00:21 966
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leicester City jadi tim ke-44 yang sukses menjuarai Piala FA. (REUTERS/MATTHEW CHILDS) Sumber:CNN Indonesia

Pada pertengahan Juli 2015 pelatih Claudio Ranieri dan agen Kutner diundang kembali dalam suatu diskusi lanjutan, kali ini dihadiri Vichai Srivaddhanaprabha, ayah dari the chairman Aiyawatti yang juga pemilik Leicester. Semakin banyak waktu yang dihabiskan dewan Leicester dengan Ranieri, semakin mereka menyadari bahwa pengangkatannya dirasa masuk akal. 

Claudio Ranieri? Realy? Begitu ucapan tak percaya dari legenda Gary Lineker dan tokoh pendukung serigala ini. Dan tujuh hari kemudian pria Italia itu sudah diperkenalkan di sore yang terang di King Power Stadium sebagai pelatih baru The Foxes.

Lalu sembilan bulan kemudian, menjelang perebutan gelar Liga Premier, tampak di layar besar Stadion King Power sepotong klip dari pendukung Leicester dari seluruh kota, mengungkap rasa tulus terima kasih kepada lelaki humoris berambut putih ini, bahkan ada terucap kata dialah Dewa dan Legenda. 

Bahwa sejak abad itu The Foxes telah menjadi klub elit sekelas the big six, bukan lagi medioker atau bahkan penganut degradasi. Berhak menjadi juara Liga Premier 2015/2016 pertama kali untuk menutup 132 tahun sejarah penantiannya, meski masih meninggalkan dua pertandingan sisa, setelah Tottenham mengalahkan Chelsea di Stamford Bridge. 

Ini menjadi cerita yang ajaib dan indah. Supremasi Leicester menjadi cerita yang tidak masuk akal dan kemenangan ini adalah kemenangan yang tidak seharusnya terjadi kepada satu kesebelasan yang terpencil, sebuah grup pemain yang tidak dibasahi uang kemewahan, tapi dibanjiri uang kelaparan. Tiba-tiba segala mata menuju kepada kisah magis Claudio Ranieri si rambut putih yang periang. Apa rahasia pelatih ini menciptakan salah satu dongeng terbaik dalam sejarah Liga Premier Inggris?

Yang utama adalah dedramatisasi katanya, melepas segala tekanan pemain lalu membalikkan dengan memberi tekanan sedikit demi sedikit. Ranieri adalah sosok pelatih yang terkenal royal meliburkan tim dengan imbalan bayaran para pemain bisa menggulingkan klub berkasta. Berikutnya adalah Steve Walsh, sang asisten yang jeli, berindra enam dan memiliki ground network yang pekat. Dia adalah perekrut handal dalam mencari pemain muda murah dan berbakat, diantaranya N'Golo Kante dengan bandrol hanya 5,6 juta pound.  

Untuk sebuah kualitas tinggi dengan perawatan rendah, Kante dicintai orang-orang Leicester ketika kehidupannya yang sederhana dengan mobil mininya. Sama halnya dengan Riyad Mahrez, 22 tahun, yang tiba pada 2014 dari Le Havre dengan harga 450 ribu pound yang sempat membuat bos Marseille terkekeh geli ketika Leicester merekrutnya. 

Hal kuat lain yang menunjang keberhasilan Ranieri, adalah The Foxes memiliki fasilitas pelatihan yang sangat baik dan fasilitas bakat muda yang memadai dalam membangun suatu kerajaannya. Keintiman dan kekeluargaan yang genuine adalah milik Leceister yang khas dan sederhana. Sering terlihat Peter Schmeichel legenda penjaga gawang Manchester United kerap mampir di tempat latihan memperhatikan puteranya Kasper Schmeichel kiper utama Leicester.

Dari semua kondisi ini keunggulan The Foxes adalah menjadi panduan pelatih untuk mengidentifikasi potensi lebih mudah dilakukan dalam membentuk tim yang diinginkan pelatih.

Dalam perkembangannya Leicester yang bergaya soccer Inggris dengan umpan panjang lansung ke striker, tidak berkeinginan memoles serangan balik, tapi lebih memainkan pressure permainan di lini tinggi pada saat lawan build up, untuk bisa mencuri bola dan menyusup pertahanan lawan yang berada dalam peralihan bertahan ke bentuk serang. Tipe serangan pun juga sedikit menipu dengan penahanan atau break diikuti dengan gerakan eksplosif, terutama untuk kebutuhan penyerang tak kenal lelah Jamie Vardy, ini mungkin kebetulan saja mirip gerakan rubah yang banyak akal. 

Tampak pada pertandingan final FA kemarin melawan Chelsea, dari kesalahan umpan bek kanan Reece James pada saat Chelsea melakukan build up. Umpan miskin ketengah bisa diambil midfielder penghubung Ayoze Perez dan Luke Thomas, yang mengoper bola ke Youri Tieleman yang berdiri lebih dari Jorginho. Membuat Chelsea kehilangan keseimbangan pada lini tengah pertahanan. Saat Jorginho kehilangan posisi di bawah bola dan Jorginho sudah terlambat mencover lini tengah Tieleman, dia hanya bisa memberi kode untuk menutup kepada Silva, tapi Silva ragu melepas posisi centernya sehingga tanggung dan menyisakan ruang bebas yang dapat dimanfaatkan. Tieleman menembak dari jarak 18 m ke pojok kanan gawang untuk memenangkan The Foxes dengan keunggulan 1-0 dan menjuarai FA, setelah menanti 137 tahun sejarah pengharapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun