Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diary yang Boros

27 Februari 2021   12:18 Diperbarui: 27 Februari 2021   12:33 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Free-Photos from Pixabay

Di bangku setasiun tua ku menanti kereta, dilorong lajur terakhir ku termangu. Bahwa di silamnya aku pernah berdiri disini untuk menuai memori meski itu sudah terbenam seperti matahari. 

Aku memang seorang lelaki patah hati yang sedang membuang hati. Sungguh mati! Malam mengubur langit dan mulai menggeser sejuk menjadi dingin. Ku kancingi jaket ‘trucker’ untuk meledek dingin tapi gagal, makanya sebelum menggigil ku pilih bangku lain yang terlindung angin. 

Saat rabun malamku alpa menyensor, pantatku terasa mengganjal saat mendarat di papan bangku, rupanya aku menduduki sebuah buku. Beringsut ku raih buku yang rupanya sebuah diary. Berwarna merah muda pastilah pemiliknya perempuan. Diary itu ku buka, ada nama tertulis dilembar pertama. 

Meg Ryan. Serius? 

Tiba-tiba ku berlagak seperti Tom Hank di “You’ve Got Mail”, membayangkan ‘shop girl’ blonde cantik pemandu buku.  Dibawah nama, ku pikir tanggal kelahirannya yang terhitung masih muda seusia ku. Ku sibak lembar kedua tertanda waktu rentang tahun yang baru saja berlalu, terbubuh catatan kaki berhuruf miring ‘Tahun yang Melambat’, lalu nomor urut pertama kedua dan seterusnya. 

Itu tentang rencana, keinginan dan cita-cita di tahun diary ini. Halaman berikut terbaca peristiwa harian, dari soal cuaca langit, suasana hati, pekerjaan rumah, pekerjaan kantor, temans, hingga mentari terbenam lalu ditutup malam yang menggantung. Tulisan tangan yang indah, meski hanya memberikan warna kisah keseharian, biasa tanpa istimewa. 

Selanjutnya ku buka random mencapai tengah buku, mataku memindai kalimat tentang kesedihan yang terselip dalam cerita diary yang lamban, tentang menyalahkan hati atas kepergian lelaki. 

Beberapa halaman hari selanjutnya masih berkeluh yang sama tapi semakin mengurang. Ada mulai keceriaan hari-hari mendatang, yang menuliskan kekaguman anak-anak bernama keponakan. Ku lalui setengah halaman sisa dan berhenti di halaman hari terakhir tahun, tulisan bertinta merah tentang hari-hari  terbuang. 

“ Terlalu banyak hari-hari luang seperti fungsi mati” begitu akhir tragis diary.  Aku mengatupkan cover tebalnya, meragu untuk menaruhnya kembali ketempat semula, namun ada rasa tak rela bila nanti terbaca penemu lain. Lalu ku putuskan untuk melesakkannya ke dalam kantung bagian dalam backpack bawaanku, kerna pula kereta telah menjelang membawa ku pulang.

Tahun berikut di musim yang sama, aku kembali menuju setasiun tua yang sama, kerna ini memang perjalanan rutin menjenguk mamak ku di saban tahun yang telah menjadi ritual. 

Masih sama, ketika kaki ular besi merapat di setasiun tua yang baunya menguar rindu, dengan aroma hujan kecil yang menyapa, mengikat ku untuk berlama di suasananya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun