Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Fatamorgana

27 November 2020   07:00 Diperbarui: 27 November 2020   07:09 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh DKunert dari Pixabay

"Kawan, harta yang kau tumpuk sudah demikian banyak. Kau mesti menikmatinya! Bersenanglah sesekali!" Sudah kerap saya mendengar bual membosankan ini. Selalu para sobat menggoda saya untuk bersenang senang, saat saya hanya tengkurap menatap keluar jendela.

Biasanya saya hanya melambai lengan saja, bak mengusir lalat, melihat mereka berkerubung di pekarangan rumah saya dengan kendaraan teranyar.  Sementara saya akan menutup wajah sampai mereka bersungut  payah loe dan berlalu. Namun saya tak gubris. Kalian yang payah, kata hati saya membalas. Yah, memang beberapa bulan terakhir ini saya merasa bosan dengan rekreasi bersama sahabat seperti biasa melepas kemewahan kami sebagai kaum eksekutif muda. Saya mulai dilanda kebosanan yang tidak saya ketahui pasti, lalu didalam prosesnya kebosanan berubah menjadi keraguan.

Saya sudah mencoba berbagai hal dengan membelanjakan banyak uang untuk mengusir kebosanan, namun tak juga sirna. Malah timbul rasa baru yang perlahan menyengat yaitu rasa ketidakpastian, membikin pikiran saya terhuyung huyung seperti tanpa pijakan.

Sampai kekinian, ketidakpastian ini menyedihkan saya. Bisakan anda bayangkan ketika perasaan anda diliputi ketidakpastian ? Jadi betapa menderitanya saya dengan ketidakpastian ini, membuat saya begitu mendambakan belas kasihan dari kepastian yang bisa membebaskan dari penderitaan ekstrim akibat pergolakan ketidakpastian.  Kadang saking setresnya saya menangis berhari hari tanpa diketahui sobat sobat, atau dilain kesempatan, perut saya sakit tanpa sebab dan menjadi kronis kadang kulit di sekujur tubuh saya menjadi gatal gatal tanpa sebab. Pokoknya selalu saja ada kelainan jasmani yang kerap muncul, yang pada akhirnya membuat saya malas bersosialisasi dengan sobat kerna semakin menambah belenggu ketidakpastian saya.

"He, kenapa kalian bersenang seperti telah memiliki kepastian?" Sering saya bertanya kepada para sobat. "Ayolah hepi, jangan menarik diri. Kecuali ada yang rusak di kepala engkau, kawan?" mereka menjawab, entah serius atau bergurau.

"Saya serius. Apakah kalian sudah memiliki kepastian?" "Serius? Kami selalu optimis dan penuh kepastian, kawan" Kata mereka selalu mantap.  Dan jawaban ini semakin menjauhkan saya kerna sama sekali tidak menarik. Kenapa mereka tidak memiliki ketidakpastian seperti yang saya miliki? Dan saya semakin menderita, bahkan untuk melihat mereka.

Sehingga dari situ saya kemudian bertekad menabung untuk perjalanan mencari kepastian.  Saya sendiri tak tau tujuan kemana untuk mencari kepastian, namun saya harus memulainya, sebelum saya dihabisi oleh ketidakpastian. Dari setumpuk referensi yang pernah saya baca, tersamar bahwa kepastian bisa didekati dengan menjalani kesengsaraan, penderitaan bahkan keputusasaan. 

Lalu saya meninggalkan pekerjaan, sobat, uang dan tempat tinggal saya,  guna menuju mati raga. Semula saya berniat ekstrim menuju kutub utara, dimana es tidak pernah mencair, dimana dingin tidak beranjak menusuk kulit tiap detik,  dimana jarak terdekat langit dan bumi ada di kutub utara sana, dan berharap memegang kepastian yang langsung menghujam lewat penderitaan jasmani rohani secara radikal. Namun saya pikir sya tidaklah setanggguh itu dan saya lebih memilih secara gradual, lebih kalem dan membuang pikiran soal kutub utara. Mencari yang dalam negri saja, mencoba berlayar mengarungi lautan atau mendaki gunung, saya pikir adalah suatu media yang bisa mengantar penderitaan.

Lalu saya memutuskan untuk memilih bertarung dilaut, menuju pelabuhan dan berlayar seorang diri, hingga tiba di laut lepas. Saya biarkan diri saya berhari dan bermalam tersendiri di tengah samudra. Guna mempercepat proses, saya melempar semua logistik ke laut lepas dan menanti. Tentu saja menanti kepastian. Hingga menginjak hari ke tujuh, tubuh saya memasuki tahap lunglai dengan tingkat dehidrasi kronis, lalu melewati hari ke delapan pandangan mata saya mengabur dan pikiran saya mulai tidak runut atau ngelantur.

Dalam fase ini, banyak hal yang saya temui, dari rumah warna putih, burung berwarna awan, orang bersayap, restoran lesat hingga wajah mamak saya. Namun itu semua tak juga menarik  kepastian yang saya dambakan kedalam otak kepala saya. Sampai satu ketika muncul seseorang yang tak jelas roman mukanya, namun bersosok tinggi besar dengan gerak berwibawa. Tiba-tiba hadir ke dalam perahu compang camping saya. Dia hanya berdiri menghadap saya yang tengah  terbaring lemah, sementara bayangannya menghitamkan tubuh saya di balik mentari yang mulai surut.

"Siapakah anda gerangan?" saya bertanya pelan. "Saya pemilik fatamorgana.." dia menjawab  dengan suara berat berwibawa. Mendengar suara dan auranya tiba-tiba saya merasakan angin panas mati berobah sejuk. "Bolehkah saya menyertaimu tuan?" saya bersegera memohon seakan menemukan destini. Namun dia menggeleng dengan anggun. "Aku bisa meminjamkan".
"Maksud tuan?"
"Aku hanya bisa meminjamkan fatamorgana"
"Saya menghargainya, tuan" aku menjawab sukacita. Lalu dia meminjamkannya  secepat dia beranjak pergi. Setelahnya peristiwa ini  serentak membuat saya tersadar penuh, bahkan seperti terlahir kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun