Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Akhir Kepergian

9 Agustus 2020   22:59 Diperbarui: 11 Agustus 2020   17:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Yerson Retamal dari Pixabay

Ini cerita tentang kematian Maryam, saat papa beranjak tua, meski sudah lama tidak merokok sejak ditemukan sumbatan di jantungnya. 

Di ruang tunggu surgeri, papa tampak lebih tua, pipinya cekung, dahinya bergaris garis sementara kumis halusnya masih tetap menawan di raut wajah lelaki yang genuine. 

Cahaya matanya sirna, meski kabut di mata tak berkehendak melelehkan air mata. Dia teguh, tidak pernah menangis, seduka apa, sepahit apa, sekelam apa, semua tersimpan di hati yang paling dalam, sejatinya tak mudah menduga selayak apa remuk hatinya.

Aku menggenggam penuh jemari tangan papa untuk meredam duka dan membagi beban batin. Papa biasa terdiam lama, mensunyikan diri dan ruang, ke ambang batas pendengaran dan indera rasa. 

Kepalanya tertunduk memandangi paras cantik Marya, anak perempuan bungsunya yang barusan melepas nafas terakhirnya. Genggamanku semakin rapat, sementara air mata mengalir deras, menjadikan bayangan buram wajah adik semata wayang yang tertidur kaku dihadapanku. 

Di kamar intensif ini hanya aku, papa dan Marya, adikku yang berusia 10 tahun di penghujung bulan dingin ini. Perban tebal masih membebat tempurung kepalanya.

Terlintas, sejak terdeteksi tumor otak, kondisi Marya menjadi ekstrim. Berawal dari kejang dan pusing, dalam hitungan hari, muntah dan hilang keseimbangan yang menderanya membuatnya rebah di pembaringan. Seterusnya berkas cahaya mulai menyakitkan matanya, memaksaku menutup semua tirai dan memadamkan semua lampu kamar tidurnya.

"Mataku sakit dalam cahaya, Kak," satu kalimat terakhir yang keluar dari bibir kecilnya. Setelah itu berturut-turut hanya laju ambulans, hospital dan rangkaian padat observasi, pemindaian, biopsi, hingga sang pamungkas, yaitu pembedahan otak.

Ya Tuhan, penyakit ini begitu cepat memburu tanpa jeda, tanpa belas kasih, membuat Marya terus menerus terpejam tanpa kesempatan memikirkan apa yang sedang dan akan terjadi.

Dipagi yang keruh itu, papa meneken persetujuan pembedahan, sedang aku hanya memandang kehampaan yang ada didepan. Kepalaku berusaha keras mencerna keikhlasan untuk menerima operasi ini, kenapa tumor itu begitu rakus menguasai benaknya. 

Dokter ahli bedah otak mencengkam pundak papa, sebuah lengan yang besar, lengan kuat yang mulia, namun dia tidak berkata sepatah jua, serupa halnya dengan papa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun