Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ibu Kota Baru Nggak Perlu Ahok

9 Maret 2020   10:01 Diperbarui: 9 Maret 2020   10:09 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agak aneh memang penetapan Ahok sebagai salah satu kandidat bos otorita Ibukota Negara baru. Semenjak IKN di wacanakan terus menggelinding menjadi realita Agustus tahun lalu,  lewat penetapan kota di Kalimantan sebagai lokasi ibukota anyar, hingga saat sebelum nominasi kandidat bos baru ibukota baru terdengar. Enggak pernah terdengar nama Ahok terlibat didalam proses kerja persiapan kota ibu baru ini. Baru minggu kemarin ujug ujug muncul empat nama kandidat CEO otorita IKN yang bakal selevel menteri, yang salah satunya Ahok. 

Kalo yang muncul Bambang Brojo adalah sangat masuk akal, kerna sebagai perancang, Bambang yang paling depan selama ini dan di benaknya cetak biru kumplit ibukota gres yang di banderol 466 tri ini sudah liquid atau encer lah. Ada dua nama kandidat lain yaitu  Azwar Anas bupati Banyuwangi dan Tumiyono. 

Ada kesan bahwa kedua kandidat ini sebagai pelengkap saja, mudah mudahan tidak lah, sementara Bambang Brojo begitu sibuk sebagai menteri, jadi  bahwa Ahok lah sang bayangan terpilih yang sudah terbaca semenjak namanya mencuat sebagai kandidat untuk bisa dikatakan sebagai tebak tebakan mudah.

Soal Ahok yang pro kontra telah teruji menangani DKI, itu memang adalah suatu keniscayaan. Namun ketegasan dan transparansi manner, Ahok bisa diandalkan, terlebih terhadap kebijakan administrasi penduduk yang lebih balance. Tapi untuk langsung terjun ke kolam ibukota baru, harusnya jangan. Lebih keren Bambang Brojo yang memimpin sementara jika diinginkan presiden, Ahok kelak menjabat. 

Bisa saja Ahok magang dulu. Ahok tidak begitu intens sejak awal proses pemindahan kota besar ini, menjadikan presiden harus buying time lagi untuk menyelaraskan speed Ahok kepada speed presiden. Kerna ini bukan lagi bagai Batman and Robin, seperti saat Jokowi-Ahok memimpin DKI Jakarta, ini berbeda sangat, terlebih dari level jabatan.

Barangkali bisa didengar kata Didik Rachbini, soal kritik kerasnya terhadap pemindahan ibukota, bahwa  pemindahan ini bukan program gagah gagahan yang begitu terfikir langsung diperintahkan. Harus sistematis dengan rencana yang matang.

Terlebih mendengar berita presiden marah marah soal tol laut yang tidak juga bergerak komprehensif, dimana menteri terkait ditengarai bekerja as usual tidak inovatif dan antisipatif.

Mungkin ini pertimbangan yang perlu direnungkan sebelum menetapkan Ahok nantinya, sebagai kepala otoritas IKN baru.

Lebih bijak membiarkan Ahok di posisi sekarang, yang konon sebagai pendobrak mafia migas, stabilitas harga, potong jumlah elpiji, bangun kilang, mompa crude oil yang efisien dan lain lain di Pertamina. Malah mungkin lebih efetktif dengan hasil nyata, ketimbang nongkrongin pembangunan dan pelaksanaan supaya IKN bebas korupsi dan transparan. Kan udah ada presiden Jokowi dan pasukannya disana?

Prospek Pertamina sebagai leading company role adalah sepanjang jaman, yang kalo disandingkan dengan ibukota baru yang penuh gengsi dan pelarian politik yang malas berbenah. Efisiensi ibukota baru masa depan adalah zero dibanding misi serius penataan energi negri lewat tangan pertamina. Jadi buat apa Ahok ditempatkan di otorita baru yang notabene kebalikan dari from zero to hero. Presiden Jokowi yang kalem tapi dalamnya meledak ledak, mestinya balance dan mendengar orang cerdik pandai di  outer ring, yang tidak ada kepentingan selain literature dan eksperiens. 

Sudahlah lewat romantisme Jokowi-Ahok sebagai duo Ephraim, bagai dynastic duo. Jokowi harus bebaskan Ahok untuk lebih menjadi lebih berkembang natural ketimbang menarik kembali kedalam utopia politik yang yang pernah terjadi menjadi jadi.

Pindah ibukota bukan suatu yang istimewa, karena hanya efisiensi administrasi. Dia bukan lalu menjelma menjadi multi purpose, sebagai kota surga, Greenland, no fosil energy, water pured, friendly, safety dan segala iklan properti yang kerap kita dengar.

Pilih orang sebagai otorita leadernya haruslah orang yang cinta kenyataan, bukan pemimpi yang ujug ujug keluar dari kota kota polusi , dia harus orang yang membumi, keluar dari paradigma klise, dari model pemilihan pejabat ala Jokowi atau Erick Thohir, dengan ekspose kehebatan kabar kabari, lalu berdasar porto folio hebat yang ternyata hanya teruji di bidang sempit atau bahkan ruang hampa politik. 

Mungkin meniru ala pemilihan menteri gaya Suharto yang enggak percaya hanya kehebatan kata orang bahkan kenyataan prestasi doang, namun kematangan mentalitas, kesetiaan dan wayout mumpuni yang berkelas Harvard dan relasi infrastruktur  cendekiawan ekonomi internasional, enggak cuma pedagang sukses di luar negri.   

So, enggak perlu Ahok yang menjadi pilihan kerna peran anchornya sekarang ini penting dan mesti di dukung presiden,  jadi silakan aja  Bambang Brojo yang dipilih, kalo itu memang hanya ada empat pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun