Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tonight Show

16 Januari 2020   03:08 Diperbarui: 16 Januari 2020   03:30 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pixabay.com/Gambar oleh Moh. Hassan

Kamu selalu menawarkan senyum yang menawan yang kamu kirim bersamaan dengan indah bola matamu. Kerap kamu tertawa yang hanya kamu saja pemiliknya,kerna apa? Kerna ada sedikit samar lesung di kedua pipi yang mungkin hanya terlihat oleh tatapku saja. Bibir indahmu yang seperti tak henti mengatakan patahan kata yang kocak, selalu menepikan kebosanan pagi  awal kerjaku hingga di kedua belas jam sesudahnya. Cinta yang berujung rindu sering membuatku rancu apakah  itu rindu yang bertumpuk cinta atau kebalikannya tapi kupikir 'bodo amat'. Yang jelas sedikit gila ketika otakku selalu mengandaikan kamu menjadi istriku. Aku akan  terpenjara memandang parasmu tanpa istirahat. Memelukmu sebanyak banyaknya tubuh rampingmu melekat dengan sekujur permukaan kulitku. Bukan apa, untuk menjelaskan kepada mimpi mimpiku, supaya mereka tidak pulang tanpa bentuk ke kediamannya, sehingga kehilangan mimpi itu tergantikan oleh khayalan, yang mengisikan bukan cinta tapi melulu sukak lewat sentuhan kulit lembutmu.

Dan kali ini, malam mulai turun yang selalu diserobot oleh hujan tipis, namun mencocokkan fashion jacket trucker yang kupakai, menjadi enak dipandang menurutku, mungkin pancaroba ini salah satu musim yang kusuka  . Keluar gedung pencakar kantor yang mengabur dilangit, kulepaskan langkah kedua kaki yang terbungkus sneaker loop beralaskan hardbeat, menepis lapis tipis air dilantai pedestrian tanpa ragu. Ibukota menebar dingin di malam yang masih belia. Silencer exhaust dari kendaraan yang berderet  macet di aspal basah tetap saja tak mampu mengusir bau hujan yang jatuh dari langit. Ku melangkah lebih cepat turun menyusur tangga subway MRT yang belum begitu riuh. Lebih sukak ini, ketimbang North South Line dari Raffless ke Dhoby Ghaut di subway yang biasa padat di lepas kerja Singapur. Sebelum benakku melantur tak terarah, cepat ku lompat dalam alur pintu elektrik kereta. Dari kacanya dibawah tanah hanya muncul kesegeraan hatiku, untuk sampai ke wajah kamu selayak waktu yang telah kita sepakati. Yak, saban jam sembilan malam aku harus menjumpai Hesti. Setiap hari. Aku enggak bisa menghindarinya. Begitu pula halnya Hesti, perempuan yang kuceritakan diatas tadi, yang selalu menghela lepas kantorku untuk bergegas tanpa mampir, bahkan menengokpun bisa aja cukup untuk membuang waktu dari jatah mepet menuju sayangku Hesti. 'Mesti pas jam sembilan sayang. Jangan telat!' begitu kuingat bayangan paras cantiknya berkata. Membayangkannya, membuatku berdebar. Bukan apa, kerna ku selalu saja menantikan surprise gaun apa yang akan dikenakan Hesti malam ini. Modus gaun Hesti yang setiap malam berbeda, membikinku gairah, apakah style gaun, chic, casual, sport? Apakah campur aduk? Namun apapun yang dikenakannya di kulit putih halusnya, Hesti selalu elok mempesona. Rambut lurusnya yang bergerai kadangku susah ku untuk menerka, apakah kali ini  warna hitam, atau bleach tone apa pastel? Embuhlah! Namun Hesti adalah Hesti, gerak lakunya lepas namun renyah, tawanya feminim tapi kocak, dilengkapi ekspresi mata indahnya dengan kelopak separuh menutup bak mata ngantuk, adalah paket komplit perempuan idaman. Membuatku keblinger terus terusan, meski setiap malam kami jumpa, namun seperti melepas muatan kangen yang tak kunjung sirna. Ah, Hesti, Hesti..memang kita tak usai bosan untuk berjumpa setiap malam.

Kutatap layar gajetku yang menuliskan jam sembilan kurang satu menit. "Hah?!.." aku menjerit di kalbu, menyadari bahwa malam ini aku terelambat berat, terseret oleh lembur  dead line kerja kantor dari bosque. "Wah gawat bambang.." aku bergumam ditepian jendela MRT yang melesat dengan laju tetap. Cemas mengejar bukan menit lagi namun detik. Rasa pesimis mulai merasuki jiwaku, seperti menjadikanku pasien 'panic depression', melamunkan kegagalan pertemuan dengan Hesti pujaan jiwa. Mengingat selepas Dukuh Atas aku harus mengambil transJ yang bakal super padat, itupun masih dilanjutkan modul ojol untuk mencapai lokasi kami bertemu. Meski kuharap banget, Hesti masih setia menunggu dan memaklumi keterlambatanku, namun kekecewaanku sudah on secara otomatis, kerna sisa perjalananku tak mungkin ketuntaskan dalam satu jam kedepan. "Menanti sejam, ya sayang?" aku mengemis lebih kepada alam seperti meminta mukjizat, berharap Hesti pun terlambat oleh sesuatu hal diluar dugaan, hingga kami bisa tetap berjumpa malam ini.

Selepas MRT dan naik ke permukaan bumi di Dukuh Atas , tubuhku nekad seperti bondonekat (bonek) menerobos tembok jejal manusia di pintu transJ di kedatangan perdana, guna melaju keras dijalur busway. Namun waktu tetap berjalan seperti lagu 'time goes on', yang kali ini hampir menyentuh ke digit sepuluh saat ku luput dari transJ. Ku pun berlari menyambut ojol yang sudah standby aplikasi dan melaju terbang atas perintah peumpang.

Pas jam sepuluh lewat lima menit ku tiba dan segera melompat berlari masuk kerumah terang yang ku berharap sangat Hesti masih menantiku didalam atau paling tidak dia belum bobok.

Ku buka pintu depan yang tak terkunci, dan kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, ruang biasa aku dan Hesti bertemu. Sementara kulihat seperti abangku duduk seorang diri  didepan televisi yang  sedang menyiarkan berita. Dia menengok dan menatap kedatanganku  dengan wajah seperti menyesal,  dan mungkin melihat tubuhku tampak lunglai.

"Yah!... Udah abis "Tonight Show" nya" ucapnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun