Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepercik Air Berwarna Bening

23 Desember 2019   22:59 Diperbarui: 24 Desember 2019   06:18 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Free Photos dari Pixabay

Almanak mengejutkanku ketika ku teliti deretan angka tanggal satu persatu. Aku tau ini Desember, namun sekarang ada di hari ke duapuluh tiga dan aku terperangah. Merasa bersalah mengapa aku begitu larut di duniaku sendiri yang sudah setahun ini ku geluti. Tanpa terusik kedatangan akhir tahun yang seharusnya menjadi keindahan warna warni meski musim hujan alamiah menutupi keindahan warna panen. 

Bayangan pulang menyapaku bagai apakah rasanya, kerna baru tahun ini aku berada jauh keluar kampung. Tahun tahun lalu berjalan bersama bapak dan ibu di rumah sederhana di kampung dan melulu disekitar mereka dan kasih sayang. Menempuh duniaku sendiri untuk berjarak dengan bapak dan ibu adalah menjadi seperti keniscayaan meski kerelaan memberatkan membuahkan rasa rindu di permulaan. 

Yah, begitulah aku pergi memisahkan ikatan fisik dari mereka meski pelukan kasih jiwa taklah pudar selama hayat. Tak terasa sekarang berjalan setahun tanpa jua ku pulang, selain berkabar. Sampailah diujung tahun aku begitu merindu, tentang warna warna kunning hamparan padi dan juntai kebun jagung. Meski kutau masa itu baru saja lewat kerna musim panas sudah terganti dengan musim basah, hujan yang mulai mengguyur. Lalu hijau lah dikejauhan, ketika cemara hijau di latar hutan desa berayun seperti memanggil. Dan akupun merindu ke masa kecil, berlari ditengah embun yang tersisa di awal mentari yang anginnya selalu menyapa hidungku membaui melulu bau daun cemara segar.

"Bapak, ibu, aku mau pulang" di malam ruang kamar, sewaku di kilometer yang ratusan dari kampung, aku kali ini betul betul merasa seorang diri. Yang tiba tiba saja, malam begini aku terperangkap udara dingin padahal berada di peraduan kamarku yang tertutup bening. Ada tarikan kasih sayang dan keindahan tanah heritage, yang serentak kuidamkamkan setelah setahun tak kunjung tergenggam dan teraba. Sementara setahun ku belajar ketekunan berkesendirian, keindahan alam itu muncul kembali di akhir tahun pertama ini. Dan aku yang malam ini pucat kedinginan, membiarkan kemauan pulang menyelimuti.

Dan benar keesokan aku sudah bersiap melanglang pulang, sudah kebereskan dan kupikir wajah cantikku masih saja mempesona bapak ibu dan abangku Richard. Entah jam ke berapa, yang kutau matahari masih bersembunyi, atau mungkin sinarnya terhalang mendung. Aku tak begitu berkenan untuk perhatian kepada alam di rantauku, kerna panggilan kebun warna warni kampung halaman kali ini merenggut kenanganku yang sepertinya telah lama mati, padahal baru setahun kutinggalkan udara lereng cemara, seperti terampas masa lalu.

Lalu mulailah perjalanan menuju tanah tahun lalu, dengan jalan yang biasa ramai masih tertampak sunyi. Dan aku mendengar gerak daun jagung, mungkin panggilan kekanak kanakan disela sela tanaman berjumbai itu,  selain dilatarnya terngiang pula, ada suara langkah kukuh Richard abangku yang pergi ke penggilingan jagung.

"Ah! Aku mulai mengingatnya detil. Apakah itu kerinduan atau panggilan kembali. Atau..?" aku menggumamkan yang hanya kumengerti sendiri. Kadang kak Richard membawa gerobak berkuda kampung, sekaligus memanen jagung sepulang kerja menggiling padi. Dan beberapa labu coklat marun sempat pula kami petik di sisi jalan. Pulang kerumah berdua terbahak dibawah merah langit yang sebentar lagi menutup matahari.

"Bang Richard, aku kangen.." mataku terasa membasah, yang selalu kamu bilang kalo air mataku seperti  air mata ibu, sama mengalirkan sepercik air berwarna bening.

 Tak kunyana, perjalananku begitu lesat, nyaris menjelang kampung halaman tercinta. Barangkali ini juga arti kecepatan waktu berbeda  menuju akhir tahun. Melintasi deretan cemara yang teramat kental kukenal, semakin pula degup hatiku keras bergetar. Yang tiba tiba saja merubah kegundahan hati, bertanya tanya mana yang akan  merindukanku? Bapak? Ibu? Dear Richard? Atau udara lereng desa? Padi dan jagung berwarna emas? Deretan cemara hijau beraroma daun yang menyengat? Ah!

Aku dan hatiku tampaknya bercampur baur, berusaha memilih, manakah yang sebenarnya aku rindukan?  Yak! Semuanya berputar bercampur membuatku pusing saat mengakhiri perjalanan untuk keluar dari ruang kendaraku.  Namun tak kulakukan, kerna badanku terasa kaku beku, seakan mencegah ragaku bergerak meski perangai pikiran otakku masih menarik narik keluar untuk berikatan kembali pada kepulangan kepada bumi indahku.

Namun dari balik ruang kecilku, ku bisa melihat mereka bertiga, bapak, ibu dan Richard.  Mereka duduk mengelilingi, tangan Richard dipenuhi bunga sementara bapak dan ibu nampak berdoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun