Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selamat Jalan Purnama

17 September 2019   05:52 Diperbarui: 17 September 2019   17:51 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika temans bertanya siapa cewek pertama yang ku taksir. Ku jawab Purnama. Wkwkwk... mereka tertawa medsos. Aku bodo amat. Purnama itu teramat kurus, pipinya cekung matanya belok, mulutnya lebar, kulitnya sawo matang engga putih kinyis kinyis. 

Makanya temans body shaming, karena tolok ukur kebanyakan kecantikan adalah paras dan bentuk bodi. Itu jadul, abg banget, melihat kecantikan seperti bioskop. Aku bilang, kita sudah kuliahan, mosok masih ndak bergerak, disitu terus dalam memandang arti kecantikan.

Tapi embuhlah, aku engga mau berdebat tentang hal yang terlalu luas dan filosofis, argumennya bakal engga karu karuan.  Pastinya aku emang kesengsem Purnama, perempuan eksotik pertama yang hadir di hati dan benak setiap malam.  Tapi yaitulah, aku merasa piawai menilai dan berdebat soal sosok perempuan, namun jeblok dalam aplikasinya. 

Perangaiku langsung kaku apabila bersua, mulutku seperti terkunci engga sesuai amat dengan teori perempuan yang kerap kubeber dalam diskusi kongkow. Mungkin terperangkap ke dalam pesona linear saja, sehingga naluri konversasi yang menarik menjadi macet. 

Kata-kata yang keluar bibirku begitu standar seperti, kuliah apa, cuaca, alamat, dan selanjutnya lebih banyak diem. Jadinya engga nampak bahwa aku ini lelaki yang plus apalagi plus plus sebagai pengisi ocehan yang bisa membuat dia penasaran. Norak deh diriku.

Perkenalan perdana dengan Purnama kuingat saat kami jalan berjejer, saat selesai kuliah. Aku yang banyak diem tiba tiba saja dikenalkan oleh temanku yang juga temannya.

"Ada yang mo kenalan Pur". "Sapa?". " Sebelah gue"

Purnama menatapku , dia ketawa dan aku mengulurkan lengan. "Purnama". "Bogi". "Sapa? Bagio?" dia ketawa renyah. "Bogi!" jelas temanku kencang. "Ooh..". "Suara loh kurang keras, bro" temenku protes. Aku cuma tersipu gugup. 

Seterusnya kami berbincang ria sepanjang jalan, cuma aku aja yang banyak diem. Hanya mencuri paras Purnama sesekali, tanpa partisipasi melarut di obrolan riuh. Introver begitulah, kadang ku menyalahkan diri.

Melanjut hari hari sesudahnya, aku kembali berceloteh soal Purnama  sebagai perempuan yang meluruh hati kepada teman satu pondok. Berhayal melontarkan keindahan seorang Purnama, perempuan yang memang tidak cantik an sich, tapi  memiliki tampilan artistik, membuatku mabuk kepayang sendiri. 

Jago kandang dan utopia, tak menghalangi mimpiku tentang Purnama sebagai pacar diluar kenyataan. Aku lebih major memaafkan inferioritas diriku ketimbang melepaskan kenikmatan akan ikatan imajiner dengan Purnama yang chic.

Dan itu berjalan bertahun dengan Purnama, perempuan idaman yang mengendap kedalam otak kananku, sementara di alam nyata tak pernah terjadi apa apa. Mungkin dia inget pun engga, apalagi ngerasa. 

Ah, Purnama. Tapi diriku tetap yakin bahwa, kamu merasakan hal yang sama, kerna hanya keteguhan itulah satu satunya yang kumiliki untuk bertahan untuk menghindari hatiku yang bisa retak atau patah.

Akhirnya pun aku bakal sudah memperkirakan, bahwa Purnama berpacaran dengan lelaki aktivis kampus, pandai orasi dan berkarakter kuat. Sedang aku, untungnya engga down mengetahui hal ini, karena aku telah menyimpan rapat rapat hubungan cintaku dengan Purnama di dalam otakku yang terujung, yang hanya bisa kukenang sendiri kapan saja kumau atau kapan saja kubutuhkan. 

Mau apalagi, itulah kenangan indah Purnama, cinta pertamaku, satu gores cinta yang membekas dalam diriku yang memang soft atau lembek.

Tapi paling tidak didalam diriku yang pengalah ini, aku berhak memiliki fiksi indah yang tidak kalah mempesona dengan kisah cinta nyata milik temans. Tidak ada yang berbeda, toh kisah nyata suatu percintaanyang kelak menjadi silam juga hanya akan menjadi suatu fiksi. 

Bahkan kuyakini, kisah cintaku dengan Purnama jauh lebih immortal, lebih abadi, karena tidak terganggu oleh ketidakcocokan atau pertengkaran atau hal hal bodoh lainnya. Kerna begitu awal, murni dan genuine, tidak dikotori oleh remeh temeh duniawi.

***

Di fajar kemarin, pada usia ketuaanku setelah pensiun dari kerja kantoran yang tak pernah  menjabat  sesuatupun kecuali staf sepanjang karir. Aku mendapat  whatsapp snapshot. "Telah berpulang Purnama, angkatan sekian, jurusan sekian"  

Aku terhenyak, berpuluh tahun tak pernah jumpa. Membayangkan seperti apa paras cantiknya sekarang? Aku tak bisa menerka wajah di kesepuhannya.

Kembali kuambil kenangan silam di ujung benakku, besukur bahwa aku mengenalmu hanya dan hanya di kemudaan paras eksotik mu dan tak pernah akan pernah kehilanganmu rautmu yang asli.

"Selamat jalan kekasih"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun