Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Tiket Kematian

6 Juli 2019   00:00 Diperbarui: 6 Juli 2019   15:22 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi papan putih. (pixabay/PixMedia)

Saat kematian aku termenung. Betulan. Dihampar mukaku terbujur Ando kawan sekolahku di institut, dia lulusan teknik sipil. Rasa belasungkawa kembali menyeruak para kerabat dan teman sahabat. 

Otak pribadiku turut mengikuti alur flashback kehidupan teman Ando sejak muda hingga akhir hayat. Kekaguman segala kelebihan mencuat ,dari kepandaian, karir, hingga perjuangan melawan penyakit diujung usianya. Perasaan ini muncul kembali, setiap aku menghadapi orang mati. Rasa menghargai seseorang yang baru saja meninggal dengan nilai lebih tinggi daripada yang masih hidup.  

Belum genap tiga bulan yang lalu, Bambang teman akrab sebangku kuliah teknik kimia, juga dipanggil menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Kanker usus mendera hebat di akhir usianya, membuatku duduk termenung disamping kematian, dengan perasaan yang sama seperti sekarang ini.

Di tahun kebelakang kualami dikematian yang begitu intim, yaitu kematian adik kandungku sehabis berjuang bertahun melawan gagal ginjal dan setrok. Sang adik petarung tangguh hingga akhir fana ini, juga mendudukkanku ketempat rasa yang sama seperti rasa ini.

Mereka yang mati disampingku lagi lagi memiliki nilai yang lebih tinggi, hingga rasa menyesali kepergian, rasa bersikeras untuk jangan mati, meskipun melawan kenyataan.

Tak cuma menangisi orang mati, aku mati-matian berjuang dengan hati dan pikiran untuk mengatasi kehilangan tanpa hasil untuk membuat mereka tetap hidup.

Sepulang layat kawan Ando, aku masih membawa rasa menjadi lebih merasuk. Entahlah mungkin emosional rasa kehilangan masih memenuhi urat sarafku. Cuman ada cahaya lain selain itu, sekujurku terasa memperoleh suatu hadiah impian surgawi, lewat kematian sahabat ini.

Ingin aku menyapa sekitar perjumpaan orang pelayat dijalan. Apakah mereka merasakan yang sama? Hei! Apakah kamu juga? Mau aku membuncahkan bibirku ke muka mereka, namun terkunci. Aku hanya bisa menatap pelayat berjalan di belakang dan depanku.

Membuatku terhenti bersandar ditembok sisi jalan, untuk meluruskan kecamuk benak ini. Menenangkan jantungku dengan menurunkan jumlah detaknya, sehingga pikiranku bisa keluar dari sisi kematian barusan. 

Meski perlahan, pikiranpun menjauh, pulang kembali. Sehingga aku bisa melihat bahwa ada matematika yang rusak. Bahwasanya pertemuan itu sepadan dengan perpisahan, tak ada nilai yang lebih tinggi dari orang mati. Barangkali  ketika kamu meninggal kita lalu memiliki reuni yang menggembirakan di surga.Bisa jadi itu suatu kompensasi dari suatu kematian yang terasa seperti hadiah, ketika aku duduk disisi teman yang meninggal.

Akupun kembali melangkah, sedikit cepat bermaksud menyusul orang orang pelayat yang berjalan lebih maju didepan. Mau kukatakan. Hei! Bukankah itu lebih tepat dari sekedar rasa kelebihan nilai seorang yang wafat? Bahwa selama ini kalian salah soal matematika untuk penentuan jatah rasio dan emosi saat melihat kematian seorang sobat!

Namun lagi lagi lidahku kelu, sehingga jangankan suara, udara nafaskupun tidak terasa hembusnya.

Sedikit berkeringat dimalam yang sejuk, aku berjalan shortcut, melalui jalan kecil kearah rumahku. Sekonyong hati menarik ingin segera menemui istriku yang tersendiri menanti dirumah, karena hanya kami berdua yang tersisa setelah anak kami memiliki kehidupannya sendiri.

Entah untuk menebus religiusitas kerna setahuku, istriku jauh melampauiku. Sangat ingin aku mengakui bahwa seiring  berjalannya waktu, rasioku memudar sementara aliran emosional malah menderas.

Aku akan berjajnji kepada istriku, untuk tidak marah marah dan akan menjatah perasaan emosi kerna ketidak mampuan mata duniawiku melihat kebenaran yang lebih besar.

Tiba dimuka pintu kayu rumah, istriku menjelang dengan senyumnya dan menyapa.

"Kamu sudah melihat tiketnya sayang?"

Aku mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun