"Kalau sudah sreg, segera diresmikan saja, Le. Ndak baik menunda nunda" ibuku mendesak lagi.
Kami berdua, menghadap kotak televisi, saban malam seperti biasanya.
"Inget kamu udah ada umur status duda. Menunggu apa lagi?"
Aku lengang tanpa respons.
"Ibu suka dengan Nadin. Cantik, grapyak. Â Saban singgah kemari, kami selalu bersenang senang. Â Dia penuh inspirasi, jadinya ada saja hal yang kita kerjakan" ibu senyum peringisan, kukerling dari sudut kelopakku.
"Nadin cocok ke kamu. Â Nurani ibu mengatakan kamu nyaman dengan dia. Aku happy dia disini, Le" ibu masih berlanjut.
Hmm, Nadin. Dua tahun silam kumengenalnya. Nadin yang datang mengetuk rasa, setelah tidur panjang sendiriku pasca kematian Ani, istriku. Dari lampau yang kerap mencekam, kuakui perlahan tersibak, membikin laku keseharianku  lebih berlimpah kilap mentari ketimbang ungu disebelumnya. Nadin mengasih aku warna macem macem, meletakkan warna linierku larut kebelakang.  Aku sendiri move on namun aku merasakan Nadin menyapa dan menata move on ku. Dan aku membebaskannya.
"Kamu selalu diam setiap ibu bicara Nadin" ibu memecah renungku.
"Kamu belum teguh sama Nadin?"
Aku menggeleng, menampik.
"Belum siap?"