Baedhowi (35) warga  Desa Nyemoh RT 2 RW 2, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang mengalami nestapa berkepanjangan. Akibat syaraf terjepit, sejak 10 tahun lalu, ia alami kelumpuhan. Eloknya, kendati tak mampu beraktifitas, namun dirinya enggan mengeluh. Seperti apa deritanya, berikut laporan potret buram rakyat kecil untuk Indonesia.
Selama dua hari berturut- turut, saya harus menyambangi rumah Baedhowi yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Salatiga. Awal kedatangan saya untuk memastikan berita yang menyebutkan Baedhowi mengalami kelumpuhan 10 tahun, namun tak pernah mendapatkan bantuan apa pun. Bahkan, guna membeli walker (alat bantu berjalan) saja dirinya tidak mampu.
Mungkin bagi orang kebanyakan hal tersebut biasa adanya, namun, bagi saya teramat sangat memperihatinkan.Untuk itulah, saya harus memastikan validitas kabar tentang dirinya. Hanya butuh waktu 30 menit, akhirnya saya tiba di rumah milik orang tuanya. Ternyata, sekilas kediaman itu cukup lumayan , artinya bagian depan berdinding tembok.
Melihat walker yang setia menemaninya, saya trenyuh. Alat bantu berjalan itu dibuat dari potongan besi bekas, sehingga sudah berkarat dan beratnya mencapai sekitar 2 kilogram. Padahal, barang yang sama, dijual di berbagai apotik, harganya hanya berkisar Rp 300.000 hingga Rp 1.000.000. " Tidak mampu beli pak, jadi ya memakai seadanya saja," ungkapnya.
Baedhowi menuturkan, dirinya merupakan anak ke empat dari lima bersaudara pasangan alm Muzaeni dan Siti Komah (69). Sebelum mengalami kelumpuhan, seperti galibnya pemuda desa lainnya, dia aktif bergaul serta bekerja di sawah. Maklum, ijasah yang dikantonginya hanya setara SD. Selain berkutat di sawah, lelaki itu juga memelihara ternak sehingga saban hari harus mencari rumput.
Praktis selama 10 tahun Baedhowi tak mampu lagi melakukan aktifitas rutinnya, hanya untuk keperluan pribadi, dirinya masih sanggup mengerjakannya dengan bantuan walker. " Dulu, di tahun 2017 pernah dibantu walker oleh pak Kepala Desa (Kades), tapi sekarang sudah rusak dan Kadesnya juga telah ganti," jelas Baedhowi.
Tanpa PKH dan BPJS
Eloknya, kendati ekonomi keluarganya kembang kempis, Baedhowi mengaku tak mengenal istilah Program Keluarga Harapan (PKH) mau pun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Terkait hal itulah, dirinya malas melakukan pengobatan medis karena tidak memiliki kartu sakti. Padahal, sebelum trend BPJS muncul, ia mengantongi kartu Jamkesda. " Entah kenapa setelah berganti BPJS malah tak dapat," ungkapnya.
Sedangkan perihal PKH, Baedhowi tidak merasa risau. Termasuk ketika saya akan konfirmasi ke Dinas Sosial Kabupaten Semarang, dirinya menolak karena khawatir ada ribut- ribut. Baginya, kalau tidak mendapatkan bantuan PKH, artinya memang bukan rejekinya. Aduh ! Ya repot juga kalau begini.