Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Rumah Nenek Duafa di Tuntang ini Perlu Dibedah, tapi...

12 Oktober 2018   12:40 Diperbarui: 12 Oktober 2018   16:02 2265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muini (85) nenek duafa warga Dusun Karang Tengah RT 3 RW I, Desa Karang Tengah, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang sebenarnya hidup ngenes. Sudah sebatangkara, menempati rumah bobrok, namun menolak rumahnya untuk dibedah. Seperti apa sosoknya, berikut kunjungan saya, Kamis (11/10) sore.

Berawal dari adanya laporan seorang relawan Lintas Komunitas yang memberitahukan keberadaan mbah Muini (demikian biasa disapa), menempati rumah kecil ukuran sekitar 3 X 6 meter yang kondisinya sangat memperihatinkan. Di mana, selain sudah lapuk semua, tanpa kamar dan juga tak dilengkapi fasilitas MCK.

Berdasarkan cerita relawan, mbah Muini bukan berasal dari desa setempat, beliau merupakan pendatang. Karena kondisi kesehatannya terus menurun, untuk makan sehari- hari dirinya hanya berharap pada bantuan warga.  Pendengarannya telah jauh menurun, begitu juga dengan virus kepikunan, sepertinya mulai merasuki tubuhnya. Akibatnya, komunikasi sulit nyambung.

Dokpri
Dokpri
Karena data awalnya saya anggap masih perlu diverifikasi, maka, sore sekitar pk 16.00 saya pun meluncur ke desa Karang Tengah yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Kota Salatiga. Sembari menenteng sembako, tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah mbah Muini. Hanya makan waktu sekitar 15 menit, saya sudah berada di ujung gang masuk yang relatif sempit.

Sebelum memasuki rumah mbah Muini, saya sempatkan memperhatikan rumah berbahan papan kayu dan bamboo dibelah (galar) tersebut. Terlihat sana sini penuh lobang akibat lapuk dimakan jaman, sementara di bagian belakang, nampak dindingnya dilapisi plastik kumal. Mungkin untuk menahan terpaan hujan, namun karena cara memasangnya terkesal asal, maka semakin menambah kesan kumuh.

Dokpri
Dokpri
Kendati pintu rumah dlm posisi terbuka, saya tetap mengucapkan salam berulangkali. Ternyata, mbah Muini yang tengah bobok sore tak bereaksi (maklum telinganya sudah tak normal lagi). Untuk itu, saya pun langsung masuk dan membangunkannya. " Kenapa ? Mau memberi uang ? " ujarnya dalam bahasa Jawa saat melihat saya.

Badhalah ! Belum apa- apa malah ditanya soal uang. Kendati komunikasi berulangkali terputus akibat sulit nyambung, namun saya dapat menangkap ceritanya. Mbah Muini merupakan warga asli desa Karang Tengah, dulunya pernah memiliki rumah yang belakangan dijual karena ia memilih tinggal bersama sang suami bernama Yasmin.Hingga suaminya meninggal dunia, dirinya sempat berpindah- pindah, sampai akhirnya kembali ke kampung halamannya.

Mbah Muini tengah bobok sore di peraduannya (foto: dok pri)
Mbah Muini tengah bobok sore di peraduannya (foto: dok pri)
Pilih Uang untuk Jajan

" Suami saya meninggal, saya juga tidak memiliki anak terus sama keponakan- keponakan disuruh pulang ke desa ini. Dulu ikut keponakan yang di sana, terus pindah ke sini," jelasnya.

Untuk makan sehari- hari, mbah Muini mengaku sering dibantu para tetangga atau keponakannya. Sedangkan dapur yang ia pergunakan masih seperti jaman pemerintahan kolonial Belanda, yakni memanfaatkan tungku berbahan bakar kayu. Otomatis, saat sedang memasak, seluruh ruangan rumah terhirup bau asap. Maklum, rumahnya memang terlalu mungil.

Setelah mendengarkan berbagai ceritanya, saya menyodorkan sembako yang saya bawa. Melihat hal tersebut, mbah Muini menolaknya karena masih memiliki sembako pemberian orang. Dirinya lebih memilih uang dari pada sembako, alasannya uang bisa buat jajan. " Enakan duit, bisa buat jajan apa saja," tukasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun