Ayni Tiya Rahmadani biasa disapa Ayni, bocah cantik berumur 2 tahun seperti galibnya anak- anak seusianya nampak normal, bergerak lincah dan relatif mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Padahal, masa depannya telah terampas jahatnya virus Rubella.
Akibat jahatnya Rubella, anak pasangan Suryadi (40) dan Siti Zakiyah (35) warga Dusun Krajan RT 02 RW 01, Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang tersebut, mengalami kehilangan indra pendengaran, terkena katarak pada dua matanya serta terserang gangguan pembuluh darah ke jantung. Duh, betapa malangnya nasip Ayni.
Keberadaan Ayni, awalnya Minggu (30/9) saya dengar dari salah satu relawan yang tinggal di wilayah Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Dalam keterangannya, selain Ayni terserang virus rubella, yang paling mendesak bocah cantik ini juga membutuhkan alat bantu dengar (ABD). Sebab, ABD yang lama sudah tak berfungsi. Begitu pun dengan kacamata ukuran 10 plus yang biasa dipakai Ayni, katanya juga alami kerusakan.
Hingga tiba di rumah yang saya tuju, terlihat Ayni tengah bermain dengan pamannya. Sementara sang ibu baru mencuci pakaian ke sungai yang berjarak lumayan jauh. Sekitar 30 menit kemudian, ketika Ayni berada dalam dekapan saya, Siti Zakiyah pulang.
Sehari- hari, Siti membuka usaha es juice di depan rumahnya. Sementara suaminya, yakni Suryadi bekerja sebagai pengemudi carteran di Kota Semarang.
Berdasarkan pengakuan Siti, ABD milik putrinya sebenarnya tak mengalami kerusakan. Namun, alat seharga Rp 8,5 juta tersebut, memang tidak banyak membantu Ayni. Sedangkan kacamata berwarna pink dan lensanya setebal pantat gelas, tak bisa dimanfaatkan karena lensanya terlepas. " Sudah berupaya dilem, tapi tidak berhasil," ungkap Siti.
Penghasilan Suryadi yang tak menentu, karena hanya mendapatkan upah bila ada carteran, Siti berusaha membantu mencari nafkah dengan cara membuka warung kecil- kecilan.
"Namanya saja di desa, pembelinya juga terbatas. Kalau sekarang pas musim kemarau, agak mendingan karena es juicenya lumayan laku," jelasnya.
Menurut Siti, saat memasuki kehamilan di awal tahun 2016 lalu, dirinya tak merasakan adanya kelainan. Seperti galibnya warga pedesaan, ia tetap beraktifitas dari sekedar mengurusi warung hingga menuntaskan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan suaminya, lebih banyak di Kota Semarang karena bila harus pulang pergi jaraknya lumayan jauh.