Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kristina, Gadis Batak Pejuang Literasi di Papua

20 Juni 2017   16:25 Diperbarui: 7 Juli 2017   16:33 5670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Murid SD dan SMP berada di OPIJ (foto: dok Kristina)

Kristina Susiana Sihombing, gadis berdarah Batak berusia 30 tahun sungguh layak diapresaiasi. Melihat sangat minimnya fasilitas bacaan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, ia pun berjuang menyebarkan virus literasi di Medan yang berbukit guna mencerdaskan anak-anak di sana. Seperti apa kiprahnya? Berikut catatannya untuk Indonesia.

Lajang yang sehari-harinya tinggal di Desa Bilai, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, sebenarnya belum lama menginjakkan kakinya di tanah Papua. Tahun 2014 lalu, dirinya memasuki kawasan kaya sumber daya alam itu sebagai guru kontrak di sekolah unggulan Tiom, Kabupaten Lanny Jaya." Baru bulan Desember 2015, saya pindah ke Kabupaten Intan Jaya," ungkapnya dalam komunikasi jarak jauh, Selasa (20/6) siang.

Melihat kondisi anak-anak Kabupaten Intan Jaya yang dahaga buku bacaan, karena memang tak memiliki perpustakaan daerah, Kristiana merasa trenyuh. Bagaimana tidak? Situasi di sini ibarat bumi dengan langit dibandingkan kabupaten atau kota lain di tanah Jawa, khususnya perihal literasinya. Bahkan, di sekolah-sekolah juga minim buku bacaan.

Anak- anak Papua menyimak beragam bacaan (foto: dok Kristina)
Anak- anak Papua menyimak beragam bacaan (foto: dok Kristina)
Mungkin ada yang bertanya, di zaman teknologi informasi yang sedemikian pesat, kan bisa bisa belajar tentang berbagai hal melalui internet? Ya, itu mungkin pertanyaan yang terlontar dari orang-orang yang belum mengerti kondisi Kabupaten Intan Jaya. Sekadar diketahui, kabupaten ini baru berdiri tanggal 29 Oktober 2008. Sebelumnya merupakan wilayah Kabupaten Paniai, hingga berbekal Undang-Undang nomor 54 tahun 2008 terbentuklah sebuah kabupaten yang memiliki topografi ekstrem, yakni perbukitan dan lembah curam.

Di sini, yang namanya sinyal internet adalah barang mewah, sinyal hanya berlaku untuk komunikasi telepon dan pesan singkat. Itu pun, bila ada hujan serta kabut maka semua perangkat teknologi komunikasi tak berdaya. "Kalau pada hari biasa, dari pukul 6.00 sampai pukul 14.00, selanjutnya nyala lagi pukul 17.00 sampai pukul 21.00, selanjutnya istirahat," kata Kristina serius.

Anita dan Uli sukarelawan OPIJ (foto: dok Kristina)
Anita dan Uli sukarelawan OPIJ (foto: dok Kristina)
Begitu pun dengan media informasi lainnya seperti surat kabar, radio, hingga pesawat televisi bisa dikata tidak ada. Implikasinya, tingkat kecerdasan anak-anak usia SD maupun SMP dalam urusan baca tulis jadi tersendat. Tentunya, hal itu menimbulkan duka tersendiri bagi Kristina yang memang gila membaca berbagai buku.

Topografi yang ekstrem juga memiliki andil besar dalam sulitnya transportasi darat, sarana paling mudah didapat adalah ojek. Tarifnya gila-gilaan. Sedangkan untuk menuju ibu kota Provinsi Jayapura, warga harus menggunakan pesawat perintis yang memakan waktu 1,5 jam, transit dulu di Kabupaten Nabire. Yang pasti, secara keseluruhan kabupaten ini sangat ketinggalan di semua lini.

Kristina mengunjungi salah satu SD (foto: dok Kristina)
Kristina mengunjungi salah satu SD (foto: dok Kristina)
Berjuang Bersama Dua Relawan

Dengan kondisi alam yang sedemikian, tak pelak, istilah literasi menjadi kosakata yang nyaris terhapus dari kamur bahasa. Hal itulah yang membuat Kristina teramat sangat prihatin. Ia yang begitu mencintai tanah Papua, dirinya yang menyayangi anak-anak berambut keriting dan berkulit hitam, berupaya berjuang menularkan virus literasi. Kendati begitu, ada kebingungan karena pada dasarnya Kristina awam literasi.

Kristina awalnya agak gamang, harus memulai dari mana. Hingga akhirnya, ia bertemu pentolan Pustaka Bergerak Indonesia, Irwan Arsuka. "Orang gila" literasi ini, memberikan support terhadap Kristina. Menurutnya, terisolasi bukan berarti akan menghambat literasi." Banyak saran dan petunjuk yang saya dapatkan dari Bapak Nirwan sehingga saya semakin bergairah mendirikan perpustakaan bagi anak- anak di sini," jelas Kristina.

Kristina dan relawannya berjalan kaki menembus bukit (foto: dok Kristina)
Kristina dan relawannya berjalan kaki menembus bukit (foto: dok Kristina)
Pascapertemuan dengan Nirwan Arsuka inilah yang membuat "syahwat" mendirikan perpustakaan semakin bergolak. Secara perlahan, dikumpulkanlah beragam buku miliknya maupun sumbangan dari berbagai sahabat, termasuk Nirwan Arsuka. Akhirnya, sejak tanggal 24 Agustus 2016 berdirilah Ombo Pustaka Intan Jaya (OPIJ). "Ombo adalah noken, atau tas tradisional Papua," kata Kristina menjelaskan arti Ombo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun