Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hidup 1000 Tahun di Dalam Buku

13 Januari 2017   07:46 Diperbarui: 13 Januari 2017   07:59 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya terkejut mendengar kabar meninggalnya seorang tokoh yang saya kenal di Kalimantan Timur, tepatnya di Samarinda. Kemarin (12 Jan) saya baru saja mendarat di Sepinggan Balikpapan atas undangan Bapak H.M. Rusli, tokoh politik dan pengusaha di Kaltim, untuk menghadiri peluncuran dan bedah buku beliau bertajuk Hijrah. Buku itu sendiri saya yang sempat membidani kelahirannya lebih kurang hampir 1,5 tahun. 

Tokoh yang baru saya ketahui kabar meninggalnya itu adalah Bapak Saleh Nafsi, mantan Sekda Kaltim pada zaman Gubernur H.M. Ardans. Pasalnya saat menulis buku tentang Yayasan Melati Samarinda, saya sempat mewawancarai beliau yang kala itu sudah sakit-sakitan. Namun, ingatan beliau sangat tajam dan ia sempat menguji saya dengan beberapa buku yang pernah dibacanya. Awalnya saya mendapat kesan Pak Nafsi orang yang keras dan sedikit "angker". Karena itu, saya sudah diwanti-wanti untuk berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan. Ternyata, perbincangan saya cair dengannya karena asyik membicarakan beberapa pemikiran dari buku-buku. Kami segera saja menjadi akrab.

Lepas perbincangan tentang buku, beliau menanyakan kepada saya bagaimana ihwal menulis buku. Tampaknya Pak Nafsi sangat ingin juga menuliskan kisah hidupnya seperti Pak Rusli. Namun, ia bilang agar jangan menyampaikan ke siapa-siapa kalau ia ingin menulis buku, termasuk ke Pak Rusli. Beberapa bulan lewat saya belum ada keperluan lagi ke Samarinda. Sementara, ia sempat bertanya-tanya keberadaan saya dengan staf di Yayasan Melati dan menyampaikan pesan ingin segera bertemu. Pada awal 2016 saya sempat kembali ke Samarinda, tetapi luput bersua dengan beliau, padahal saya sudah menyiapkan diri. Sampailah kemudian kabar mengejutkan itu karena saya mengira akan bertemu beliau di perhelatan buku Pak Rusli.

Saya sedih dan merasa bersalah karena saya paham betul bahwa buku adalah media yang dapat menghidupkan sosok seseorang, bahkan lebih dari 1.000 tahun lamanya. Jika Chairil Anwar berteriak lantang dalam puisinya ingin hidup seribu tahun lagi, sampai menjelang seabad kematiannya, Chairil Anwar memang masih terus hidup dalam benak orang Indonesia. Itulah kehebatan sebuah buku.

Saya juga masih ingat ketika kali pertama menuliskan memoar seorang dokter militer yang pernah memimpin RSCM dan melakukan reformasi di sana. Dumi buku sudah selesai dan diperlihatkan kepadanya menjelang beliau akan dioperasi jantung by pass. Beliau tersenyum dan takdir menggariskan operasi gagal sehingga beliau meninggal setelah sempat menyelesaikan bukunya.

Sore hari ini saya diminta untuk memberi semacam kuliah santai untuk keluarga Pak Rusli tentang pentingnya menulis. Ini keluarga kedua yang mengundang saya untuk berbagi tentang tulis-menulis, sebelumnya adalah keluarga suami-istri peneliti yang anaknya ingin memilih jalan literasi. Saya gembira dengan fenomena ini bahwa kesadaran tentang pentingnya menulis dan menuliskan pemikiran serta kisah hidup itu telah menjalar dan akan menjadi suatu kekuatan warisan masa depan.

Banyak tokoh yang saya tuliskan bukunya mengawali dengan keraguan. Keraguan pertama adalah kepantasan kisah hidupnya dibukukan. Keraguan kedua adalah faktor merasa akan dicap riya atau pamer dengan segala kesuksesannya. Keraguan ketiga adalah siapa yang dapat membantu menuliskan pengalaman dan pemikirannya dengan tepat. Ternyata keraguan ini juga menjangkiti orang Jepang yang memiliki akar budaya tulis-menulis atau buku yang sangat kuat. Itu juga terjadi pada saya ketika hendak menuliskan biografi Mr. Yasuo Furukawa, seorang pengusaha onderdil otomotif dari Kyoto, Jepang.

Namun, semua akhirnya sadar akan warisan literasi alias buku-buku adalah warisan yang sangat berharga. Warisan yang akan dibaca anak, cucu, hingga cicit mereka, bahkan di luar itu adalah anak-anak muda yang haus bimbingan dan kisah-kisah sukses pendahulunya. Indonesia kita menyimpan banyak tokoh seperti itu, tetapi masih segelintir tokoh yang mau membukukan kisah hidupnya.

Ingin hidup 1.000 tahun lagi? Maka tulislah dan terbitkanlah buku Anda sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun