Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ada "Wortel" di Dalam Buku

13 Juli 2016   09:56 Diperbarui: 13 Juli 2016   21:23 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Foto: lifehack.org

Seorang calon klien penulisan bertanya-tanya soal rencana bukunya. Ia berharap bukunya dapat sukses sembari menyebutkan beberapa contoh buku best seller tingkat nasional. Ia kemudian meminta saya menyebutkan juga contoh-contoh buku yang pernah saya garap dan sukses di pasar. Meski tahu apa yang diinginkannya, saya tidak terlalu antusias, kecuali menuliskan artikel ini.

Saya sebenarnya belum menangkap benar buku apa yang hendak dirancangnya atau lebih tepatnya konten yang mau ditawarkan kepada pembaca sehingga benar-benar menjadi magnet bagi banyak orang. Apa yang saya tahu buku itu mengandung konten religiositas Islam. Benar bahwa buku religi masih menempati posisi kedua  penjualan terlaris seperti data dalam Industri Penerbitan Buku Indonesia (Ikapi, 2015) pada tahun 2014, buku religi dan spiritual, terutama Islam, membukukan penjualan 3.421.197 versi TB Gramedia. Di atasnya adalah buku anak dengan penjualan 10.135.778 eksemplar dengan nilai Rp304.073.340.000 atau setara dengan 22,64% dari total nilai penjualan TB Gramedia 2014.

Apakah best seller-nya sebuah buku dapat direncanakan? Saya lebih suka menyebut kelarisan daripada best seller di Indonesia yang tidak jelas acuan angkanya. Ya, tentu dapat direncanakan meskipun sebagian besar rencana itu gagal--beberapa buku laris justru seperti anomali yang tidak direncanakan, tetapi hanya diharapkan. Khusus untuk buku nonfiksi lebih mudah diprediksi karena buku nonfiksi berbasis kebutuhan (need) dari pembaca sasaran. Artinya, jika kita mampu membaca kecenderungan sesaat ataupun tren kebutuhan pada masyarakat, kita pun dapat membaca topik apa yang sedang diminati.

Di sinilah yang perlu dipahami penulis buku tentang apa "wortel" yang hendak ditawarkannya atau diiming-iminginya kepada pembaca sasaran. "Wortel" sebagai analogi saripati konten yang mendorong pembaca perlu atau harus baca demi mewujudkan sesuatu. Sesuatu di sini yang paling gampang didefinisikan adalah KEBAHAGIAAN. Topik Kebahagiaan akan menurunkan berbagai subtopik yang dicari pembaca, contohnya kekayaan (sebagai buah dari kesuksesan), kesehatan, kisah (fiksi seperti novel), dan juga keluarga yang mendorong pada kehidupan lebih baik.

Saya pernah menyusun 10K topik paling dicari oleh pembaca Indonesia dan dapat dikenali penerbit sebagai topik-topik pencetak hits dalam penjualan buku. Dalam perkembangannya saya tambahkan dua lagi menjadi 12K, yaitu

  1. Kanak-kanak dan Kawula (Remaja);
  2. Kesalehan (Religi dan Spiritual);
  3. Kekayaan/Kesuksesan (Karier dan Bisnis);
  4. Kisah (Fiksi);
  5. Kisah Nyata (Faksi, Sejarah);
  6. Kesehatan;
  7. Kegemaran (Hobi) dan Keterampilan;
  8. Keluarga (Parenting);
  9. Kependidikan (Edukasi);
  10. Kepribadian (Psikologi dan Pengembangan Diri);
  11. Komputer;
  12. Kontroversi.

Pada daftar buku-buku terlaris versi New York Times yang saya akses saat ini terdapat dominan buku-buku faksi (biografi/autobiogafi/memoar) dan sejarah. Satu-satunya yang di luar topik itu adalah Outliers Malcolm Gladwell yang masuk kembali dalam deretan 10 besar pada urutan ke-3. Selain itu, ada The Power of Habit Charles Duhigg yang terlempar ke urutan ke-13.

Sekadar meninjau sebuah riset, Thomas Woll dalam bukunya Publishing for Profit (2002) menyebutkan bahwa motivasi para pembaca membeli buku hanya dua yaitu subjek/topik buku dan reputasi penulis buku. Poin kedua menjadi masalah kalau penulisnya bukan siapa-siapa. Menurut Consumer Research Study on Book Publishing (1996) yang disponsori American Booksellers Association and Book Industry Study Group, di hampir semua tempat konsumen dapat membeli buku bahwa faktor terbesar yang menghasilkan keputusan seseorang membeli buku adalah subjek dan reputasi penulis dengan presentasi sebagai berikut: 44% karena subjek/topik, 24% karena reputasi penulis, 2% karena harga, 2% karena desain kover buku dan endorsement (testimoni), kurang dari 1% karena buku ada dalam daftar best seller.

Pada ujungnya pembaca sangat memperhatikan topik yang dibahas penulis. Namun, walaupun topik adalah topik paling dicari, tentu saja ada faktor lain yang saya sebut "wortel" tadi. Banyak buku tentang pengembangan diri atau bagaimana seseorang dapat menjadi sukses dan kaya, tetapi yang mengandung "wortel" orisinal dan bergizi sedikit sekali--sisanya wortel KW1, wortel imitasi, wortel berpestisida, ataupun wortel busuk.

Wortel sangat erat kaitannya dengan riset sebenar-benarnya yang dilakukan penulis buku sebelum menulis. Bagian ini termasuk pada bagian pramenulis (prewriting). Penulis juga harus jujur tanpa harus menyisipkan kebohongan-kebohongan di dalam bukunya demi pesan bombastis. Ada hal menarik dari buku 7th Habits for Highly Effective People Stephen Covey yang kemudian direvisi menjadi 8th Habits dalam pesan buku revisinya Covey menyatakan bahwa Anda (pembaca) yang saat ini membaca 8th Habits, tidak perlu lagi membaca buku terdahulu. Tersirat bahwa Covey menginsafi apa yang ditulisnya dan memperbaiki pada buku terbarunya. Keinsafan Covey menjadi butir tambahan kebiasaan efektif dengan Voice atau panggilan jiwa (nurani) yang mengandung atmosfer spiritualitas. Jika Covey masih hidup, boleh jadi ia akan memperbarui lagi 8 kebiasaan itu.

Penulis insaf? Harus, apalagi menyangkut wortel yang hendak ditawarkannya kepada pembaca. Bertekad untuk best seller tentulah sah-sah saja, tetapi sadarilah kemampuan kita untuk menanam, memupuk, dan memanen sebuah wortel. Seseorang yang menulis buku bisnis dengan gembar-gembor ia telah mampu mencapai pemasaran dengan tingkat pertumbuhan yang mengesankan serta beragam rahasia yang coba diungkapkannya akan tampak meragukan seandainya ia tidak jujur bisnis apa yang telah berhasil dibesarkannya itu. Itu sebabnya orang lebih suka membaca biografi/autobiografi pengusaha sukses yang memang sudah teruji dan terbukti prestasinya demi mendapatkan wortel bergizi.

Namun, tidak dimungkiri banyak juga para pembaca terjebak oleh wortel-wortel yang dikemas apik, bahkan heroik seolah-olah memang benar-benar wortel yang menyehatkan dan tepercaya. Banyak yang mengemas faktor K 'kesalehan' (religiositas dan spiritualitas) sebagai wortel karena menganggap, misalnya, kaum Muslim adalah pasar potensial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun