Sisi yang mungkin dianggap kecil sebagai imbas kebijakan pemerintah dalam efisiensi adalah berhentinya benih literasi membaca dan menulis disemai oleh Pemerintah. Saya kira ada empat lembaga pemerintah yang sangat berperan hampir satu dekade dalam penyebaran benih itu. Semuanya berhubungan dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan sebagian juga beririsan dengan Kementerian Kebudayaan serta BRIN. Mereka adalah Pusat Perbukuan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Perpustakaan Nasional, dan Penerbit BRIN.
Sisi yang sering dianggap kecil itu adalah perbukuan, termasuk sastra. Pasca diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, usaha-usaha menyemai benih literasi mulai terjadi lagi setelah lama vakum beberapa dekade. Salah satu usaha itu adalah akuisisi atau pemerolehan naskah melalui jalur penilaian dan penyelenggaraan sayembara penulisan.
Pusat Perbukuan (Pusbuk) mengadakan kembali penilaian buku nonteks sebagai upaya menyediakan buku bacaan yang bermutu di luar buku teks. Lalu, secara terprogram dibangunlah platform Sistem Informasi Perbukuan Indonesia (SIBI). Setelah mengeluarkan Pedoman Perjenjangan Buku, Pusbuk bergerak menciptakan pemodelan buku berjenjang. Para penulis diseleksi lalu ditugaskan menulis naskah buku nonteks untuk semua jenjang.
Pusbuk melalui SIBI juga menyelenggarakan sayembara yang dikenal dengan jenama "Kurasi SIBI" demi mendapatkan naskah-naskah buku nonteks potensial sebagai buku bermutu. Usaha Pusbuk ini mulai bergaung pada tahun 2023 hingga 2024.
Di sisi lain, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengambil alih program gerakan literasi dengan jenama Gerakan Literasi Nasional (GLN). Program itu identik dengan pengadaan buku nonteks (bacaan literasi) untuk anak secara masif yang melibatkan ratusan penulis dan ilustrator. Kegiatan yang bermula tahun 2018 (secara terbuka, sebelumnya dilakukan secara internal di lingkungan Badan Bahasa) itu kemudian menjadi kegiatan tahunan yang ditunggu-tunggu para penulis dan ilustrator buku anak.Â
Ratusan judul buku anak diakuisisi oleh Badan Bahasa setiap tahunnya. Tidak hanya itu, kegiatan itu juga menjalar ke balai/kantor bahasa yang berada di bawah koordinasi Badan Bahasa. Setiap balai/kantor juga menyelenggarakan sayembara penulisan buku anak secara lokal. Konteks itu secara langsung menghidupkan gairah menulis buku anak pada para penulis, termasuk sastrawan lokal.
Perpustakaan Nasional melalui Perpusnas Press juga memiliki program inkubator penulis yang mengakuisisi naskah-naskah potensial dari para penulis di seluruh Indonesia. Program itu mampu menghidupkan asa literasi melalui model pembinaan dan penerbitan berkelanjutan.
Penerbit BRIN, mungkin banyak yang belum mengetahui, juga memberi perhatian terhadap akuisisi naskah pengetahuan lokal untuk buku anak. Program yang bermula tahun 2019 itu membuka kesempatan para penulis buku anak mengajukan naskah yang bermuatan pengetahuan lokal untuk diterbitkan secara elektronik dan disebarkan sebagai akses terbuka.
Meskipun berupa sayembara, program di lembaga itu (kecuali BRIN) selalu diikuti dengan kegiatan lain, seperti lokakarya, pelatihan, dan pendampingan para penulis oleh para pakar dan praktisi. Pesertanya bukan hanya mendapatkan benefit imbalan rupiah, melainkan juga pengalaman, ilmu dan keterampilan, serta tentunya kebanggaan telah diakui sebagai penulis secara nasional.
Musim Paceklik Tiba
Ramai di media sosial saya membaca kawan-kawan penulis buku anak menyuarakan harapannya bahwa kegiatan sayembara penulisan itu diselenggarakan kembali tahun 2025 ini, terutama Sayembara GLN oleh Badan Bahasa. Namun, melihat kenyataan yang ada dengan pemotongan anggaran di kementerian yang ekstrem, kegiatan itu menjadi bukan prioritas saat ini. Suara-suara itu hanya bergema di ruang hampa.