Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Penulis Generalis dan Kepak Sayap Kebinekaan

4 Agustus 2021   06:50 Diperbarui: 4 Agustus 2021   16:54 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Vlada Karpovich/Pexels

Buku Range karya David Epstein dibuka dengan cerita dua juara dunia olahraga. Satu bernama Tiger Woods dan satu lagi bernama Roger Federer. Anda pasti sudah tahu siapa kedua orang itu dan pada cabang apa mereka menjadi juara yang fenomenal.

Dua orang itu melewati fase pembinaan diri yang berbeda. Jika Tiger Woods sudah mulai dilatih oleh ayahnya sejak balita untuk mengayunkan tongkat golf, Federer malah "dicuekin" oleh ibunya (seorang pelatih tenis) untuk mempelajari tenis.

Woods adalah contoh juara yang telah mengalami fokus penempaan bakat sejak dini oleh ayahnya yang pelatih golf. Ia mungkin menjadi contoh konkret aturan 10.000 jam pelatihan. Federer berbeda. Ia memilih olahraga sesukanya meskipun ibunya seorang pelatih tenis. Federer mencoba ski, gulat, renang, papan luncur, basket, bola tangan, tenis meja, bulu tangkis, dan sepak bola, sebelum ia berfokus pada tenis. Bagi Federer yang menarik minatnya pada olahraga ialah bola---tidak penting apa permainannya.

Epstein ingin memberi contoh bahwa Tiger Woods mewakili sosok spesialis yang sudah berfokus sejak awal, sedangkan Roger Federer mewakili sosok generalis yang baru serius menekuni suatu bidang (tenis) ketika ia remaja. Keduanya kemudian sama-sama menjadi juara dunia.

Kisah Federer lebih mengukuhkan tak ada salahnya menjadi generalis. Epstein menguraikan bahwa meskipun para generalis terlambat memasuki suatu bidang, mereka ternyata lebih kreatif, lebih tangkas, dan mampu melihat kaitan antarkonsep yang tidak mampu dilakukan seorang spesialis.

Ternyata manusia memang memiliki kapasitas menekuni banyak bidang sebaga homo universalis (Latin) atau polymath (Yunani). Ilmuwan pada zaman dahulu telah membuktikannya seperti Ibnu Sina yang menguasai beberapa bidang sekaligus. Sekarang ingin dibuktikan lagi dengan konsep merdeka belajar ala Mas Menteri Nadim.

Jadi, ketika seorang penulis mengepakkan sayap kebinekaan dalam ragam tulisan, itu bukanlah hal yang "mustahal". Dari fiksi ke nonfiksi, dari cerita anak ke karya tulis ilmiah atau sebaliknya dari karya tulis ilmiah ke cerita anak, dari jurnalistik ke bisnis, dan dari bisnis ke religi.

***

Lewat tulisan ini saya sebenarnya ingin mencari pembenaran pada diri saya yang baru menekuni dunia tulis-menulis setelah kuliah di Prodi D-3 Editing, Universitas Padjadjaran, tahun 1991. Semasa kecil dan remaja, saya tidak menulis, kecuali berkorespondensi dengan sahabat pena. Saat SMA saya memilih masuk jurusan A-1 Fisika. Namun, tidak berjodoh masuk ITB lewat jalur UMPTN kala itu.

Tahun 1994 lulus D-3, saya mulai menulis artikel opini di media massa dan mendapatkan pekerjaan pertama menulis buku pelajaran untuk SMP serta SMA. Tahun 1995 saya menjadi editor di sebuah penerbit dan mulai mengedit beragam tulisan, mulai naskah buku religi Islam, naskah buku perguruan tinggi, dan naskah buku anak. Saya pun mulai menulis buku anak untuk keperluan proyek penilaian di Pusat Perbukuan.

Tahun 2000-an saya mulai merambah ke karya tulis ilmiah sejak skripsi saya tentang sastra anak dibukukan tahun 1997 dalam Program Pustaka I, Ford Foundation dan Adikarya Ikapi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun