Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Elegi Toko Buku: Mari Mati Bersama Pelan-pelan

21 Februari 2021   10:08 Diperbarui: 21 Februari 2021   15:01 3554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi baca buku | Photo by Eliott Reyna on Unsplash

Lalu, saya menyebut pemicu lain yang baru belakangan ini hadir adalah teknologi yang berwujud dalam bentuk lokapasar, seperti Shopee, Bukalapak, Tokopedia, dan sejenisnya yang juga menjadikan buku sebagai komoditas para pelapak. Buku-buku lebih mudah diperoleh melalui lokapasar. Bahkan, buku-buku bajakan juga merajalela di lokapasar yang turut berimbas pada sekaratnya para penerbit.

Mari Mati Bersama Pelan-Pelan
Sebagian besar toko buku seperti memasuki masa MMBPP alias mari mati bersama pelan-pelan. Beberapa yang sudah menemui ajalnya, seperti jejaring TGA di mal-mal (tersisa TGA di Kwitang), Tisera, Eureka, Karisma, dan banyak lagi toko buku kecil (tradisional). Sebenar-benar pembaca buku tentu menangisi penutupan ini karena tak lagi dapat menikmati buku di mal-mal atau di tempat-tempat terdekat yang dapat dijangkau.

Matinya toko buku akan sangat berdampak bagi penerbit buku yang mengandalkan toko buku sebagai saluran penjualan. Data dari Ikapi yang disampaikan pada akhir 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 62% persen penerbit kini sangat bergantung penjualannya pada Toko Gramedia. Bayangkan jika Toko Gramedia---yang sudah menanggalkan kata 'buku' pada merek dagangnya---juga ditutup, tentu akan berpengaruh pada nyawa para penerbit.

Situasi Toko Gramedia kini sudah sangat berbeda. Ruang untuk alat tulis kantor, alat olahraga, mainan, dan aksesori bertambah mengurangi ruang untuk buku. Alhasil, Gramedia pun terbatas memajang buku yang terus bertambah setiap bulan. Wajar jika Toko Gramedia memprioritaskan buku yang laku atau paling tidak bergerak terjual. Bagi buku-buku yang bergerak lamban atau sama sekali terhenti, mohon maaf saja jika harus diretur.

Saya merasakan situasi berbeda kini di Toko Gramedia, Istana Plaza Bandung. Toko itu mulai terasa temaram karena beberapa lampu tidak dinyalakan (mungkin menghemat listrik) pun pendingin ruangan sedikit difungsikan. Saya tidak lagi nyaman berlama-lama di sana seperti yang biasa saya lakukan. Ruang untuk buku mulai dikurangi secara berangsur-angsur.

Jadi, jelas bahwa tutup atau matinya toko buku juga bakal berdampak pada aktivitas penerbitan buku. Penerbit buku pun dapat mati bersama pelan-pelan. Romantisme toko buku hanya tinggal kenangan seperti kisah Rangga dan Cinta yang dilatari lapak buku dan kumpulan puisi Chairil Anwar.

Menyelamatkan Toko Buku
Di Amerika terjadi sebuah kebalikan. Toko buku berjejaring Borders yang sangat besar di Amerika menutup sebagian besar gerainya pada tahun 2011 karena tak mampu bersaing dengan toko buku diskon dan toko buku daring. Sebaliknya, Amazon yang sukses dengan toko buku daring malah membuka toko buku fisik pertamanya tahun 2015 di Seattle, AS.

Keadaan toko buku di belahan negara lain tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Namun, mereka tutup karena menghadapi ketatnya persaingan dan penetrasi toko buku daring. Jadi, bukan karena rendahnya minat membaca dan minat membeli.

Di Indonesia masalah perbukuan berkelindan sedemikian rupa. Ekosistem perbukuan kini yang melibatkan pelaku perbukuan, pemerintah, dan masyarakat dalam kondisi yang masih dibiarkan untuk sekadar bertahan. Jika tiba-tiba akvitas perbukuan terhenti sama sekali, mungkin baru semuanya tersadar dari alam mimpi. Mimpi tentang keliterasian yang indah.

Merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75 Tahun 2019, Pemerintah memiliki kewenangan untuk menciptakan ekosistem perbukuan yang sehat. Salah satu indikator ekosistem perbukuan yang sehat adalah tumbuh dan berkembangnya toko buku sebagai saluran distribusi dan penjualan buku.

Fenomena kemajuan teknologi dan tata niaga buku yang berubah adalah sebuah tantangan. Bagaimanapun kehadiran toko buku secara fisik dapat dan harus dipertahankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun