Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kata Baku itu Ibarat Ban Kendaraan

27 Februari 2020   18:13 Diperbarui: 30 Mei 2022   00:22 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Amador Loureiro/Unsplash

Bagi seseorang yang digelari "polisi bahasa" salah satu objek razianya adalah penggunaan kata-kata nonbaku di dalam karya tulis, terutama di media sosial. Penggunaan kata nonbaku sebenarnya bukan persoalan salah atau tidak benar. Kata nonbaku relevan digunakan di dalam konteks nonformal, seperti percakapan ataupun dalam tulisan-tulisan status dan komentar di media sosial.

Sederetan kata-kata nonbaku yang dieja secara tidak baku, misalnya antri, hembus, lembab, nafas, dan sekedar.  Ada juga yang termasuk ke dalam kata ragam cakapan, misalnya ketimbang, bisa, dan kenapa. Ada yang menggunakan kata nonbaku karena kebiasaan dialek, sepergi gimana, ngomongin, dan emang. Kita memaklumi penggunaan ini karena ketidaktahuan penggunanya soal baku dan nonbaku atau karena terbiasa menggunakannya dalam dialek bahasa daerah dan obrolan sehari-hari.

Saya setuju dengan penggunaan kata baku versus kata nonbaku bukan soal benar dan salah, tetapi soal tepat dan tidak tepat jika digunakan di dalam konteks resmi/formal. Bagi para penulis atau editor, seyogianyalah mereka menginstal kata baku dan kata nonbaku ke dalam benak mereka agar dapat digunakan secara tepat.

Di Kompasiana ini masih banyak penulis yang menggunakan kata-kata nonbaku. Konteks artikel di Kompasiana memang tidak dapat dibilang resmi atau tidak resmi. Itu bergantung pada penulisnya. Jika ia memang ingin menulis bersifat resmi, tentu ia menggunakan kata baku. Sebaliknya, jika ia menulis santai, boleh jadi ia menggunakan diksi yang tidak baku.

Namun, untuk kata-kata yang memang kerap dieja nonbaku, saya selalu berusaha menggunakan bentuk bakunya. Misalnya, antri menjadi antre; sekedar menjadi sekadar; merubah menjadi mengubah; atau analisa menjadi analisis.

Mereka yang tetap menggunakan kata-kata nonbaku pada ragam resmi, tentulah tidak berdosa dan tidak pula bakal dihukum pidana atau perdata. Anggap saja kata nonbaku itu kata-kata KW1, KW2, dan seterusnya. Namun, di tangan para editor, kata-kata tersebut pasti diedit meskipun tidak semuanya dapat diedit begitu saja.

***

Analoginya soal kata baku dan nonbaku seperti ban kendaraan. Saat membeli sepeda motor, dari pabrik pasti sudah distandarkan penggunaan ban, baik ukuran maupun tekanan angin. Terus kita bermaksud mengganti ban baku tadi menjadi ban nonbaku. Tentu tidak ada larangan, bahkan polisi lalu lintas pun tidak melarangnya.

Akan tetapi, penggunaan ban nonbaku akan berpengaruh pada keselamatan, kenyamanan, bahkan mungkin juga kecepatan laju sepeda motor.
Jika tidak ada pembakuan, dapat dibayangkan munculnya haru biru (kekacauan). Hal ini yang dihindarkan pada konteks berbahasa dalam ragam resmi/formal ketika tidak ada acuan berbahasa bagi penggunanya.

Apakah pejabat yang notabene menjadi anutan berbahasa akan patuh dan tidak melanggarnya? Fakta membuktikan banyak pejabat  yang tidak berbahasa baku. Selain karena tidak tahu, juga karena sudah terbiasa menggunakan bahasa tidak baku, seperti 'merubah'.

***
Pembakuan kata-kata dalam bahasa Indonesia dilakukan oleh lembaga yang berwenang yaitu Badan Bahasa. Biasanya Badan Bahasa membentuk sebuah tim untuk menentukan kata yang dimuat di dalam kamus dan membakukannya.

Baik kata baku maupun nonbaku sama-sama dimuat di dalam KBBI. Kata 'ketimbang' itu nonbaku digunakan pada ragam cakapan, sedangkan kata yang baku adalah 'daripada'.

Salahkah jika kita menggunakan kata 'ketimbang'? Tentu tidak. Namun, pada ragam resmi sebaiknya gunakan kata 'daripada' yang ditetapkan sebagai kata baku.

Karena standardisasi atau pembakuan itu bakal mempermudah penilaian, syarat itu dimasukkan di dalam seleksi naskah. Naskah harus sesuai dengan PUEBI dan tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jadilah kemudian para editor memelototi penggunaan kata baku di dalam naskah, tentu sesuai dengan konteksnya. Pada karya fiksi, penggunaan kata-kata nonbaku menjadi bukan hal yang dominan harus dipelototi.

***

Di kamus, kata 'edit' dan kata 'sunting' dibakukan dengan makna perbaiki naskah. Kata turunannya 'mengedit' dan 'menyunting'. Kata 'editing' tidak diserap sehingga dapat dianggap juga "tidak baku". Walaupun begitu, saya kerap menggunakan kata 'editing' menggantikan 'pengeditan' atau 'penyuntingan'.

Saya pun berkilah dulu nama program studi tempat saya kuliah menggunakan kata 'editing' dan itu yang mendirikannya Pak Jus Badudu.
Namanya juga berkilah, ada saja argumentasinya. Apalagi, saya punya prinsip dari dulu "biar kalah asal menang". Tidak ada kata 'kalah' dalam kamus saya karena kamus saya memang tidak lengkap.

***

Catatan: kata 'panutan' awalnya ditetapkan nonbaku, sedangkan kata bakunya adalah 'anutan'. Namun, pada KBBI edisi terbaru, kata 'panutan' sebagai kata benda (nomina) sudah dibakukan. Jadi, mau gunakan 'anutan' atau 'panutan' sama saja. Begitulah soal kata baku dan kata nonbaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun