Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebuah Pertanggungjawaban Buku Anak

9 Desember 2019   08:11 Diperbarui: 9 Desember 2019   11:27 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku anak Indonesia di Frankfurt Book Fair (Sumber: Bambang Trim)

Nah, mereka ini siapa? Apakah Andrea Hirata, Dewi Lestari, Eka Kurniawan, A. Fuadi, atau sederet nama sastrawan beken yang dapat dituliskan di sini. Mari kita bahas dengan hati yang sejuk.

Ketika Sastrawan "Turun Gunung" Menulis Cerita Anak

Saya kira paragraf pertama itu adalah sebentuk kesimpulan dari para juri plus juga akumulasi pengalaman mereka menelusuri dunia sastra anak Indonesia selama ini. 

Paragraf itu dulu terjawab dalam diskusi saya dengan Mas Wendo (Arswendo Atmowiloto) di Redaksi Koran Tempo. Saat itu, Koran Tempo hendak menurunkan laporan utama tentang buku anak di Indonesia.

Tahun 1970-an dan 1980-an adalah masa keemasan bagi buku anak Indonesia. Para sastrawan turun gunung menulis buku cerita anak. Pada waktu itu, menurut Mas Wendo, sastrawan yang tidak menulis buku anak dianggap belum diakui kesastrawanannya. 

Dalam diskusi saya juga mendapat informasi dari Mas Wendo bahwa Todung Mulya Lubis dulu adalah penulis cerita anak di majalah Si Kuncung. Namun, Todung bukanlah sastrawan, melainkan advokat.

Tahun 1970-1980-an memang terjadi booming buku anak karena adanya Proyek Inpres. Proyek Inpres adalah proyek pengadaan buku bacaan anak secara besar-besaran untuk meningkatkan minat baca anak-anak Indonesia.

Waktu itu Indonesia mengalami surplus pendapatan dari minyak bumi. Pengusul proyek tersebut adalah Ajip Rosidi yang kala itu menjabat sebagai Ketua Umum Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia). Lewat pejabat P&K saat itu, ia menyampaikan program ini kepada Presiden Soeharto.

Gayung bersambut, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksinya. Dana miliaran rupian pun digelontorkan untuk pengadaan buku bacaan anak SD. Alhasil, banyak penerbit yang mencari naskah buku anak dan para sastrawan pun terpanggil menulis buku anak. 

Saat itu, menurut Mas Wendo lagi, banyak sastrawan yang kaya mendadak.

Beberapa sastrawan yang saya ingat menulis buku anak saat saya meneliti buku anak untuk skripsi tahun 1997 di antaranya Toha Mochtar, C.M. Nas, Titi Said, Djoko Lelono, Dwianto Setyawan, Wimanjaya K. Liotohe, Arswendo Atomowiloto (tentu saja), dan Abdul Hadi W.M. Sederet nama masih banyak lagi.

Pada dekade 1990-an proyek pengadaan buku anak dan produksi buku anak masih menggeliat. Selain dari kalangan sastrawan, para penulis baru pun bermunculan meramaikan proyek ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun