Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menakar Minat Membaca Buku

30 Juni 2019   06:54 Diperbarui: 30 Juni 2019   09:10 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Adi Rahman/Unsplash

Minat membaca (buku) orang Indonesia sering kali disudutkan. Dengan menggunakan argumen berkembangnya tradisi lisan daripada tradisi tulisan pada masa lampau maka sangat relevan mengatakan minat membaca orang Indonesia itu rendah. Benarkah demikian?

Bahkan, hasil riset semacam yang dilakukan oleh CCSU (Center of Connecticut State University) tentang daya literasi tahun 2016 malah dibelokkan menjadi riset tentang minat baca. Padahal, riset CCSU menunjukkan peringkat keliterasian suatu negara dengan beberapa variabel. 

Memang Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara, tetapi itu bukan soal minat membaca---berbeda dengan salah satu variabel yaitu kemampuan membaca.

Sabtu kemarin (29/6) saya hadir di sebuah kegiatan perbukuan yang fenomenal. Bazar buku bertajuk Big Bad Wolf (BBW) untuk kali pertama hadir di Bandung, tepatnya di area Hotel Mason Pine, Kota Baru Parahyangan, Padalarang. Seperti yang terjadi di Jakarta dan Surabaya, antrean manusia juga mengular untuk masuk ke area bazar buku ini. 

BBW menghadirkan buku-buku berbahasa Inggris terbitan penerbit AS dan Eropa dengan harga miring. Rata-rata terbitan 2-3 tahun berselang atau lebih lama lagi. Jadi, memang bukan buku baru. Ada juga buku-buku lokal seperti dari Mizan dan Tiga Serangkai serta buku dari penerbit negara jiran, Malaysia.

Di arena pameran disediakan troli dan keranjang bagi pengunjung yang ingin memborong buku. Saya melihat sendiri orang-orang "mabuk" buku atau sering diistilahkan kalap ketika melihat buku-buku bagus dengan harga di bawah Rp100 ribu. Buku-buku anak umumnya menjadi incaran para orangtua, termasuk saya sendiri.

Fenomena bazar buku ini juga melahirkan pekerjaan baru bernama 'jasa titip' alias jastip bagi orang-orang yang tidak punya waktu ke bazar atau enggan mengantre. Saya bertemu seorang mantan editor yang pernah bekerja dengan saya. Ia seorang emak yang gigih, menjadi personal penerima jastip tadi. 

Ia memborong buku satu troli dengan nilai transaksi menurutnya dapat mencapai angka Rp10 juta. Hari pertama dibuka, ia "terjebak" di arena itu mulai pagi sampai malam hari karena antrean membayar sampai berjam-jam.

Kembali pada soal minat membaca maka fenomena bazar BBW ini seolah mematahkan asumsi minat membaca orang Indonesia rendah, apalagi jika ditingkahi dengan asumsi daya beli atau minat membeli. 

Memang tidak mungkin mereka yang membeli buku itu tidak membacanya walaupun ada saja pembeli buku yang masih "membiarkan" bukunya tersegel belum dibaca. Jadi, bukan tidak dibaca, melainkan belum dibaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun