Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengubah Tangisan Menjadi Tulisan

2 Februari 2019   21:12 Diperbarui: 2 Februari 2019   22:52 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tought Catalog/Unsplash

Jika dihubungkan dengan religiositas, tangisan juga menunjukkan ketidakberdayaan seorang hamba di hadapan Sang Khalika. Banyak orang yang sontak menangis jika terkoneksi pada ingatan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu. Ia memerlukan tempat mengadu paling mujarab yaitu Tuhan.

Kala Tangisan Menjadi Tulisan
Entah karena penelitian yang tadi saya uraikan maka tampak lebih banyak wanita yang menulis dibandingkan lelaki yang menulis. Atau boleh disebutkan lebih banyak wanita yang ingin menjadi penulis daripada lelaki. Saya melihat sendiri fenomena ini dalam kegiatan-kegiatan penulisan, lebih banyak wanitanya daripada lelaki.

Namun, ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut bahwa memang ada keterlibatan wanita lebih dominan dalam penulisan dan ada hubungan dengan seringnya wanita menangis secara emosional. Jadi, wanita lebih banyak terdorong menulis yang berasal dari tangisan.

Pertanyaannya sekarang, benarkah tangisan dapat diubah menjadi tulisan?

Saya termasuk yang mengagumi karya Paul Stoltz berjudul Adversity Quotient---sebuah  kapasitas kecerdasan seseorang dalam menghadapi kegetiran. Stoltz mengungkap di balik kesuksesan seseorang, tersimpan kapasitas dirinya yang persisten menghadapi kegetiran. Persisten bukan berarti tanpa tangisan.

Perhatikan buku-buku motivasi atau biografi/autobiografi/memoar orang-orang sukses atau mereka yang menjadi tokoh dunia, selalu ada air mata di balik kesuksesan mereka. Air mata itulah yang berwujud menjadi cerita-cerita mengharukan atau dramatik yang dapat kita nikmati sebagai hikmah.

Setiap saya membaca biografi/autobiografi/memoar seorang tokoh yang ditulis dengan apik, pasti saya menemukan kisah-kisah getir itu di samping kisah-kisah konyol yang menimbulkan tawa. Atau jika saya menuliskan kisah hidup seorang tokoh, saya pasti akan "mengejar" kisah-kisah getir yang dapat mendorong keluarnya air mata pembaca.

Saya kutipkan juga kisah Kate M. Brausen yang termuat di dalam buku populer Chicken Soup for the Writer's Soul.  Kate mengalami masa kecil yang indah seperti anak lainnya, sampai kemudian saat berada di kelas lima SD, ia mulai sering tersandung dengan kakinya sendiri.

Saat remaja, Kate menyadari kakinya telah menderita kelainan otot seperti yang juga terjadi pada kakak laki-lakinya. Kaki Kate tidak tumbuh normal, ia harus menggunakan sepatu ortopedik dan alat penopang kaki.

Sampai suatu hari Kate jatuh di sekolahnya. Ia menangis tersedu-sedu sambil mencari tempat untuk menyendiri. Kate mengeluarkan buku catatan dari dalam tasnya dan mulai menulis puisi tentang apa yang dirasakannya. Kate menulis Haiku---puisi tradisional Jepang yang terdiri atas tiga baris (triplet).

Bertahun-tahun kemudian setelah sore dramatis mengubah tangisan menjadi tulisan, Kate sukses menjadi seorang penulis lepas. Ia menyebutkan, "Menulis adalah sejenis doa, yang terus membantuku mencapai dan menaklukkan hidupku tanpa merasa, pada akhirnya, ditaklukkan olehnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun