Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Standardisasi Dai dan Mereka Perlu Menulis

24 Mei 2018   07:52 Diperbarui: 24 Mei 2018   22:53 2117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (15/5/2018).(KOMPAS.com/Ihsanuddin)

Polemik tentang daftar 200 mubalig/dai yang dikeluarkan Kemenag belumlah usai. Lalu, MUI mencoba menengahi dengan rencana membuat standardisasi kompetensi dai.

Standardisasi belum tentu terkait sertifikasi sehingga harus disusun SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) dai. Meskipun para dai memiliki wadah asosiasi (Ikatan Dai Indonesia), tetap saja ia tidak dapat digolongkan profesi secara sempurna.

Mengapa? Profesi selalu dihubungkan dengan bayaran atau tarif yang disepakati dalam standar-standar tertentu. Adapun dai atau mubalig sangat aneh jika bertarif atau dianggap pekerjaan jasa yang berbayar.

Di sisi lain, standar memang diperlukan jika hendak memetakan kompetensi para dai, termasuk dalam memberi cap dai kelas dunia, kelas nasional, hingga kelas RT. Namun, aktivitas dai itu adalah aktivitas dunia dan akhirat yang penilaian utamanya datang dari Allah Swt.--tanpa memandang kelas.

Dai menyampaikan dakwah. Di dalam dakwah ada muatan ilmu dan di dalam penyampaiannya juga menggunakan ilmu yang disebut ilmu komunikasi. Konten dan cara akan menjadi masalah manakala keliru disampaikan karena ada umat yang menerima dengan kadar ilmu dan pengetahuan yang berbeda-beda pula.

Di Indonesia fenomena seseorang yang baru tampak "fasih" berbicara agama langsung dicap dengan sebutan ustad masihlah terjadi. Bahkan, ustad kemudian dianggap "profesi" yang mudah mendapatkan privilege sekaligus ketenaran dengan sedikit kemampuan menghibur. Televisi dan media sosial makin mengukuhkan sosok dai-dai ini.

Saya ingat kisah masa lalu. Tetangga saya yang sudah berhaji tiba-tiba diberi kehormatan menjadi imam salat Jumat di masjid lingkungan perumahan. Dengan wajah berbinar setelah salat, ia langsung pergi ke toko buku.

Ia membeli buku fikih dan kumpulan khotbah Jumat. Pikirnya satu tingkat lagi ia akan mampu menjadi penceramah salat Jumat. Latar belakang masa lalunya adalah pengusaha, rekam jejak mendalami ilmu agama belum ada.

Itu fenomena yang saya kira masih terjadi. Seperti juga yang terjadi pada saya. Karena sudah berhaji dan bergiat lama di komunitas Manajemen Qolbu, saya pun masuk daftar pengisi khotbah salat Jumat di mesjid kompleks.

Saya sulit mengelak harus menyampaikan dakwah. Ada mungkin tiga kali saya mengisi khotbah Jumat. Namun, saya kemudian "insaf" dengan ilmu agama yang masih cetek ini. Persiapan menjadi sebenar-benar dai tidaklah mudah.

Dakwah bil Kalam

Ada yang menarik dari rencana MUI melaukan standardisasi dan pemetaan kompetensi para dai. Salah satu yang dinilai adalah dakwah bil kalam atau kemampuan seorang dai menghasilkan karya tulis. Untuk yang satu ini diyakini banyak dai yang bakal kedodoran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun